Jumat, 01 Juli 2011

KAJIAN PRODUKSI GARAM ASAM ORGANIK DAN BAKTERI ASAM LAKTAT DARI SILASE RANSUM KOMPLIT BERBAHAN BAKU LOKAL

KAJIAN PRODUKSI GARAM ASAM ORGANIK DAN BAKTERI ASAM LAKTAT DARI SILASE RANSUM KOMPLIT BERBAHAN BAKU LOKAL

(The study of Organic Acid Salt Production and Lactic Acid Bacteria Of Complete Feed Silage Based on Local Content).

Tintin Rostini, Irwan Zakir Dan Ari Jumadi Kirnadi
Stap Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Islam Kalimantan Banjarmasin


ABSTRACT

This study was designed to evaluate the production of organic acid salt and lactid acid bakteria 0f types complete feed silage based on water percentage of matter water percentage of matter 50 % (SRK50), water percentage of matter 60 % (SRK60) and water percentage of matter 70 % (SRK70) by products. Each complete feed was ensiled separately into 50 litres silo and was opened 21 day after ensiling. The silage products organic acid salt (NaOH, KOH, CaOH and ZnO) were evaluated in terms of weight), and microbial (number of lactic acid bacteria). Data were analyzed by using Completely Randomized Design with four treatments and three replicates, followed by LSD test. The result showed that all of complete feed silage had good quality. The types of complete feed silage affected fermentation quality of silages (P<0.05). Complete feed silage (SRK50) showed the best fermentation quality .

Keywords : organic acid salt, lactid acid bacteria, complete feed silage



PENDAHULUAN

Seiring makin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang keamanan produk ternak, maka usaha peternakan rakyat maupun industri mulai mempertimbangkan pembatasan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena penggunaan antibiotik dapat meninggalkan residu pada produk ternak yang dihasilkan dan juga menimbulkan resistensi bakteri patogen apabila penggunaan antibiotik digunakan dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu perlu adanya alternatif pengganti penggunaan antibiotik dalam pakan ternak, salah satu alternatif tersebut adalah menggunakan probiotik. Probiotik yang umumnya digunakan bersumber dari jamur, kapang dan bakteri Pada umumnya BAL diproduksi dari proses fermentasi produk pangan dan belum ada laporan tentang produksi BAL dan asam organik dari proses fermentasi produk pakan. Fermentasi produk pakan yang dikenal dengan istilah silase.
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengganti fungsi antibiotik adalah asam organik (Revington 2002). Asam organik dapat mengurangi komponen toksik yang diproduksi oleh bakteri, mengurangi koloni bakteri patogen di dinding usus, mencegah kerusakan sel epitel usus, (Lopez et al. 1995; Griggs dan Jacob 2005; Gunal et al. 2006) dan meningkatkan performans ternak (Denli et al. 2003; Leeson et al. 2005). Pemberian asam organik dalam bentuk cair mempunyai beberapa kekurangan seperti, permasalahan dalam penanganan karena asam organik dan BAL bersifat korosif dan mudah menguap. (Ricke 2002). Hal ini dapat diatasi dengan merubah bentuk asam organik menjadi garam.

Penggunaan bakteri asam laktat (BAL) sebagai probiotik dalam pakan ternak sudah banyak diteliti (Timmerman et al. 2006). BAL tersebut selain mampu memproduksi asam laktat juga dapat menghasilkan komponen antimikroba seperti bakteriosin, hidrogen peroksida, nisin, lecitin, diplococcin dan lactococcin yang mempunyai sifat antagonistik terhadap bakteri patogen (Jansson 2005). Pada umumnya BAL diproduksi dari proses fermentasi produk pangan susu fermentasi dan produk pangan lainnya, padahal sumber BAL tersebut masih dapat diproduksi dari proses fermentasi produk pakan antara lain produk silase. Silase selain menghasilkan produk primer (silase) juga dapat menghasilkan BAL dan asam organik sebagai produk sekundernya. Dibandingkan dengan BAL silase berbahan baku tunggal, BAL dan asam organik yang dihasilkan dari silase ransum komplit memiliki kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi.
Pemberiaan asam organik dan BAL tidak dapat diberikan secara langsung pada ternak . Hal ini dikhawatirkan viabilitas BAL dan asam organik semakin menurun seiring dengan semakin bervariasinya derajat keasaman (pH) yang terdapat pada saluran pencernaan mengakibatkan BAL tidak mampu hidup pada target organ yang diinginkan. Oleh karena itu perlu adanya teknologi yang dapat melindungi BAL. Teknologi tersebut adalah teknologi kapsulasi.

Materi dan Metode

Tempat dan Waktu
Penelitian berlangsung 5 bulan, mulai dari persiapan (1 bulan), penelitian (3 bulan), analisis sample sampai laporan akhir penelitian (1 bulan).
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium dasar Faperta Uniska, analisis produksi asam organik dan bakteri asam


laktat dari silase ransum komplit dilaksanakan di laboratorium Nutrisi ternak Unlam , Laboratorium Ilmu dan teknologi pakan IPB dan Laboratorium LIPI Cibinong

Bahan Penelitian
Bahan utama penelitian adalah Cairan dari silase ransum komplit berbahan baku lokal yang digunakan dalam penelitian ini adalah: jerami jagung, jagung, dedak padi, jerami padi, ampas tahu, limbah kepala udang, paya( limbah sagu), rumput raja, rumput setaria . Bahan pakan tambahan lain yang digunakan adalah premix, urea dan molases.
Basa yang digunakan untuk pembuatan garam asam organik adalah NaOH, KOH, CaOH dan ZnO. Media yang digunakan pada penelitian tahap ini meliputi Muller Hinton agar (Difco), Nutrient broth (Oxoid) dan Nutrient agar .
Bahan untuk isolasi bakteri asam laktat adalah cairan silase, media MRS (Mann Rhogose Shape) agar, MRS broth, Nutrien Agar (NA), CaCl2, HCL 0.1 N dan NaOH 1N; E. coli yang diisolasi dari feses ayam (9 x 107 cfu/ml) sebagai bakteri uji. Karragenan dan sodium alginat sebagai bahan kapsulasi sedangkan bahan pengisi yang digunakan adalah skim milk dan maltodextrin
Sedangkan alat yang digunakan adalah silo untuk membuat silase, mesin cuci untuk menyaring cairan silase, sentrifuse, oven, mortar grinder, spektrofotometer (Campspec seri 2000) peralatan analisis mikrobiologi, freeze- dryer dengan suhu ( -90 s/d -103 0 C), spray- dryer dengan suhu (160 s/d 180 0 C),
laminar flow, autoclve, cawan petri, dan pH meter.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Asam Organik
Salah satu Indikator keberhasilan Silase adalah adanya produk asam organik yang dihasilkan pada silase ransum komplit.

Jumlah asam organik yang dihasilkan dari silase ransum komplit ini tertera pada tabel 1.


Tabel 1 Komposisi asam organik yang dihasilkan selama penelitian
Variabel Perlakuan
SRK 50% SRK 60% SRK 70%
Asam Asetat (%) 22.08 21.84 20.53
Asam Butirat (%) 19.96 19.03 18.86
Asam propionat (%) 20.73 20.89 20.02
Asam laktat (%) 36.23 34.49 31.45



Tabel 1 menunjukkan pada awal SRK 50 % menunjukkan jumlah asam laktat lebih tinggi (36,23%) dibandingkan Asetat ( 22,08%), butirat (19,96%), dan propionat(20,73%) hingga SRK 70 % asam laktat yang lebih dominan yaitu 31,45 %. hal ini menunjukkan bahwa asam laktat terus diproduksi sampai tingkat kadar 70 %, asam organik ini diperoleh lewat proses fermentasi, dimana fase awal fermentasi silase yaitu pertumbuhan bakteri yang menghasilkan asam asetat terjadi. Produksi asam asetat akan menurunkan pH, hingga pertumbuhannya akan terhambat pada pH di bawah 5. Penurunan pH terus berlangsung seiring dengan meningkatnya jumlah kelompok bakteri penghasil asam laktat. Bakteri ini akan terus berkembang sampai mencapai pH sekitar 4. Fase ini adalah fase terpanjang pada proses ensilase dan akan terus berlangsung sampai dicapai pH yang cukup rendah untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme terutama bersifat merugikan. Selanjutnya bahan pakan akan tahan disimpan dan tidak akan terjadi proses kerusakan sepanjang silase tetap terpelihara dalam kondisi anaerob. Jones et al. (2004) dan Schroeder (2004) menambahkan bahwa selama ensilase terjadi aktivitas pendegradasian komponen selulosa dan hemiselulosa oleh mikroorganisme yang terlibat proses fermentasi. Sementara bakteri lainnya (terutama bakteri asam laktat) akan mengkonversi gula-gula sederhana menjadi asam organik (asetat, laktat, propionat dan butirat) selama ensilase berlangsung. Akibatnya produk akhir yang dihasilkan lebih mudah dicerna jika dibandingkan dengan bahan tanpa fermentasi. Selain itu produk asam organik yang dihasilkan juga mampu mendegradasi komponen serat terutama selulosa dan hemilselulosa.
Aspek penting yang mempengaruhi kualitas silase adalah kandungan dari asam organik yang terdapat didalamnya. Pada umumnya yang dijadikan tolak ukur kualitas silase adalah jumlah asam laktat, propionat dan asetat yang dikandungnya (Mc Donald et al. 1991).
Bahan penyusun dari silase ransum komplit pada penelitian ini menggunakan serat kasar yang cukup tinggi. Sedangkan menurut McDonald et al, (1991) salah satu kelemahan hijauan di daerah tropis dibandingkan temperatur adalah pori-pori yang lebih luas. Kedua hal ini akan mempersulit proses pemadatan sehingga kondisi an aerob tidak tercapai. Apabila kondisi an aerob tidak dapat tercapai dengan cepat, maka yang akan terjadi bukan fermentasi oleh bakteri asam laktat melainkan proses pembusukan oleh jamur dan clostridium spp. Hal ini mengakibatkan berkurangnya jumlah asam organik yang dihasilkan dari fermentasi bakteri di dalam silase.
Presentasi tingkat kadar air mempengaruhi total asam organik semakin sedikit jumlah bahan kering maka total asam organik yang dihasilkan lebih tinggi terutam asam laktat hal ini menunjukkan silase ransum komplit dengan tingkat kadar sampai 70 % masih memiliki kualitas yang baik.. Tetapi kandungan asam butirat menunjukkan penurunan, begitu juga dengan asam asetat. Metabolisme asam asetat melalui perubahan asetil Co-A dengan bantuan asetatkinase agar dapat digunakan untuk sumber energi melalui oksidasi siklus krebs, dimana setiap satu mol asam asetat menghasilkan 10 ATP (Mc.Donald et al., 1988). Sementara propionat akan terubah menjadi propionil Co-A dengan bantuan enzim thiokinase untuk selanjutnya diubah dengan bantuan propionil Co-A karboksilase diubah menjadi metil malonil Co-A yang selanjutnya menjadi suksinil Co-A sehingga terbentuk 6 fosfat dan glukosa (Tilman et al., 1991). Disini akan dihasilkan energi dari propionat sebanyak 7 ATP dan setiap mol asam butirat akan menghasilkan 25 ATP (Mc.Donal et al., 1988).
menghasilkan 10 ATP (Mc.Donald et al., 1988). Sementara propionat akan terubah menjadi propionil Co-A dengan bantuan enzim thiokinase untuk selanjutnya diubah dengan bantuan propionil Co-A karboksilase
diubah menjadi metil malonil Co-A yang selanjutnya menjadi suksinil Co-A sehingga terbentuk 6 fosfat dan glukosa (Tilman et al., 1991). Disini akan dihasilkan energi dari propionat sebanyak 7 ATP dan setiap mol asam butirat akan menghasilkan 25 ATP (Mc.Donal et al., 1988).
Kandungan Garam Asam Organik dari cairan silase ransum komplit berbahan baku lokal didapat dengan cara direaksikan pada basa (CaOH,NaOH,KOH dan ZnO).
Jumlah produksi garam asam organik yang dihasilkan dari 100 ml cairan silase dapat menghasilkan garam asam prganik yang cukup tinggi dengan direaksikan menggunakan Basa ZnO dan CaOH. Rincian produksi garam asam organik yang dihasilkan tertera pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah produksi garam asam organik dari 100 ml cairan silase ransum komplit dengan penambahan basa

Jenis Basa Perlakuan
SRK 50 SRK60 SRK70
CaOH (g) 5,05a 4,77a 2,21b
NaOH (g) 3,11a 2,39b 1.24c
KOH (g) 4,24a 1,26b 0,85b
ZnO (g) 14,60a 11,43b 8,83c


Jumlah produksi garam asam organik yang dihasilkan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat kadar air silase mempengaruhi jumlah garam asam organik yang dihasilkan dimana penggunaan basa CaOH dan ZnO menghasilkan jumlah garam asam organik terbanyak dibandingkan dengan penggunaan basa lainnya, hal ini kemungkinan basa CaOH dan ZnO bila direaksikan dengan cairan silase memiliki daya larut yang lambat sedangkan basa NaOH, KOH memiliki daya larut yang cukup tinggi, hasil penelitian ini lebih tinggi produksi garam asam organiknya bila dibandingkan dengan hasil penelitian Nagara (2008) garam asam organik yang dihasilkan dari limbah sawit hanya sampai 10.60 g. Hal ini kemungkinan pada penelitian ini menggunakan bahan pakan lokal yang mengandung karbohidrat ampas sagu, ampas tahu dan protein yang cukup tinggi dari limbah kepala udang sebagai penyuplai produksi asam organik waktu masa ensilase. Hal ini sesuai dengan pendapat Menurut Mroz (2005) bahan pakan alami yang segar maupun hijauan yang terfermentasi (silase) mengandung lebih dari 100 asam karboksilat dan turunannya. Sementara Indresh (2007) mengemukakan bahwa Asam organik terdapat secara luas di alam sebagai unsur di dalam tumbuhan dan jaringan hewan. Asam organik juga dapat terbentuk dari fermentasi karbohidrat oleh mikroba yang pada umumnya. Sedangkan menurut Negara (2008) reaksi yang mungkin terjadi antara asam laktat (CH3CH(OH)COOH) dari silase ransum komplit dengan 4 jenis basa adalah sebagai berikut:


CH3CH(OH)COOH + ZnO CH3CH(OH)COOZn + H2O
CH3CH(OH)COOH + KOH CH3CH(OH)COOK + H2O
CH3CH(OH)COOH + NaOH CH3CH(OH)COONa + H2O
CH3CH(OH)COOH + CaOH CH3CH(OH)COOCa + H 2O


Bakteri Asam Laktat
Bakteri Asam laktat (BAL) yang diperoleh pada penelitian ini merupakan isolat hasil silase ransum komplit berbahan baku lokal.. Jumlah BAL menunjukkan perbedaan nyata pada taraf (P<0.05) dimana

jumlah koloni BAL yaitu pada silase ransum komplit SRK 50 % (9.05 log10 cfu/g), SRK 60 % (7,72 log10 cfu/g) dan terendah pada SRK 70 % (6.34 l0g10 cfu/g). Rataan jumlah koloni BAL silase ransum komplit perlakuan disajikan pada pada Tabel 3.


Tabel 3 Rataan jumlah koloni BAL silase ransum komplit
Perlakuan Jumlah koloni BAL (log10 cfu/g)
SRK 50 % 9.05 a
SRK 60 % 7.72 b
SRK 70 % 6.34 c


Jumlah koloni BAL pada penelitian ini cukup tinggi, hal ini kemungkinan karena ketersedian nutrien yang ada pada ketiga silase ransum komplit tersebut dimana selain hijauan yang digunakan sebagai bahan utamanya, juga menggunakan limbah kepala udang sebagai bahan pakan tambahan lainnya, sehingga jumlah koloni BAL yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan silase yang berbahan baku tunggal. Jumlah koloni BAL yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah koloni BAL hasil penelitian Harahap (2008) menggunakan bahan bahan baku dari limbah sawit, ubi dan jagung sebagai bahan silase yaitu sebesar 5.14 sampai 6.05 cfu/g.
Hasil penelitian ini menunjukan semakin tinggi kadar air silase pertumbuhan BAL tidak semakin baik. Pertumbuhan BAL agak terganggu karena tingginya gas yang terbentuk pada silase berkadar air di atas 50 %. Diduga karena besarnya proses respirasi pada bahan baku yang terfermentasi. Respirasi menghasilkan 38 ATP, sedangkan fermentasi hanya menghasilkan 2 ATP (Winarno dan Fardias 1979)
Jumlah koloni bakteri asam laktat yang terdapat pada perlakuan silase ransum komplit ini kemungkinan dipengaruhi dengan mekanisme kerja bakteri asam laktat dalam menghasilkan asam laktat selama proses fermentasi. Peningkatan jumlah koloni bakteri asam laktat akan diikuti dengan penurunan pH. Selanjutnya populasi bakteri asam laktat ini akan menurun setelah fase stabil karena asam yang dihasilkan dapat menghambat pertumbuhannya. Hal ini sesuai Lopez (2000) melaporkan bahwa bakteri asam laktat juga menghasilkan sejumlah komponen-komponen antibakteria seperti hidroksi peroksida yang dapat menghambat pertumbuhannya. McDonald et al. (1991) menyatakan bahwa bakteri asam dapat bertahan hidup mulai dari pH 4.0 sampai 6.8, bahkan Pediococcus damnasus (cerevisae) dapat bertahan pada pH 3.5, sementara Streptococcus umumnya bertahan pada pH sekitar 4.5 sampai 5.0, sedangkan spesies Lactobacillus akan tumbuh subur pada pH 4.5 sampai 6.4. Diduga pada penelitian ini terdapat sejumlah bakteri asam laktat yang tidak mampu bertahan pada pH rendah sehingga akhirnya akan mati, hanya bakteri tertentu yang dapat bertahan sampai akhir periode ensilase. Selain itu diperkirakan terdapat perbedaan jenis bakteri asam laktat pada awal ensilase dan setelah ensilase. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri asam laktat jenis Streptococcus dan Pediococcus dominan pada awal fase fermentasi, sedangkan jenis Lactobacillus dominan di akhir fermentasi.
Sebagian bakteri asam laktat berpotensi memberikan dampak positif bagi kesehatan dan nutrisi ternak, beberapa di antaranya adalah meningkatkan nilai nutrisi pakan, mengontrol infeksi pada usus, meningkatkan digesti (pencernaan) laktosa, dan mengendalikan tingkat serum kolesterol dalam darah. Sebagian keuntungan tersebut merupakan hasil dari pertumbuhan dan aksi bakteri selama pengolahan pakan, sedangkan sebagian lainnya hasil dari pertumbuhan beberapa BAL di dalam saluran usus saat mencerna pakan yang mengandung BAL sendiri. Bakteri asam laktat dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain dengan memproduksi protein yang disebut bakteriosin. Salah satu contoh bakteriosin yang dikenal luas adalah nisin, diproduksi oleh Lactobacillus lactis ssp. lactis. Nisin dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri, yaitu Bacillus, Clostridium, Staphylococcus, dan Listeria. Senyawa bakteriosin yang diproduksi BAL dapat bermanfaat karena menghambat bakteri patogen Sebagian BAL dapat mengurangi jumlah bakteri patogen secara efektif pada hewan ternak, contohnya bakteri jahat E. coli dan Salmonella. Di samping itu, BAL juga dikonsumsi manusia dan hewan sebagai bakteri probiotik, yaitu bakteri yang dimakan untuk meningkatkan kesehatan atau nutrisi tubuh. Beberapa spesies BAL merupakan probiotik yang baik karena dapat bertahan melewati pH lambung yang rendah dan menempel atau melakukan kolonisasi usus. Akibatnya, bakteri jahat di usus akan berkurang karena kalah bersaing dengan BAL

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini menunjukkan produksi garam asam organik tertinggi dengan direaksikan basa CaOH dan basa ZnO, sedangkan produksi bakteri asam lakatat (BAL) asal silase ransum komplit berbahan baku lokal menghasilkan jumlah koloni tertinggi pada tingkat kadar air 50 % (SRK 50)

SARAN
Berdasarkan Produksi garam asam organik dan jumlah koloni bakteri asam laktat (BAL) yang dihasilkan sebaiknya penambahan kadar air silase tidak lebih dari 50 % .

DAFTAR PUSTAKA

Denli M, Okan F, Çelik K. 2003. Effect of dietary probiotic, organic acid and antibiotic supplementation to diets on broiler performance and carcass yield. Pakistan Journal of Nutrition 2(2):89–91.

Griggs JP, Jacob JP. 2005. Alternatives to antibiotics for organic poultry production. Journal Applied Poultry Research 14:750–756.

.Gunal M, Yayli G, Kaya O, Karahan N, Sulak O. 2006. The effects of antibiotic growth promoter, probiotic or organic acid supplementation on performance, intestinal microflora and tissue of broilers. International Journal of Poultry Science 5(2):149–155.

Janson S. 2005. Lactic acid bacteria in silage – growth, antibacterial activity and antibiotic resistance [thesis]. Swedia: Department of microbiology swedish university of agricultural sciences.


Kimoto H, Nomura M, Kobayashi M, Okamoto T, Ohmomo S. 2004 Identification and probiotic characteristics of lactococcus strains from plant materials. Japan Inter Agric Sci 38 (2) :111–117
Kurlansky. 2002. Salt: A World History. Walker Publishing Company. [terhubung berkala]. http:www.wikipedia.com/salt.html [7 Jun 2007].

Leeson S, Namkung H, Antongiovanni M, Lee EH. 2005. Effect of butyric acid on the performance and carcass yield of broiler chickens. Journal of Poultry Science 84:1418–1422.

Leeson S, Summer JD. 2005. Commercial Poultry Nutrition 3 Edition. Canada. University Books.

Lendrawati. 2008. Kualitas fermentasi dan nutrisi silase ransum komplit berbasis hasil samping jagung, sawit, dan ubi kayu [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

López S, Valdés C, Newbold CJ, Wallace RJ. 1995. Decreased methane production and altered fermentation in response to the addition of fumaric acid to the rumen stimulation technique

(rusitec). Winter Meeting on the British Society of Animal Production. Paper 109
McDonald P, Henderson AR, Heron SJE. 1991. The Biochemistry of Silage Second Edition. Great Britain: Chalcombe Publications.

Negara, W. 2009. Kajian Produksi Garam Asam Organik Dari Silase Ransum Komplit Sebagai Pemacu Pertumbuhan Pada Ayam Broiler yang Ditantang Salmonella typhimurium. Thesis. Pasca sarjana IPB.
.
Revington Bill. 2002. Feeding poultry in the post-antibiotic era. [terhubung berkala]. http:// ag.ansc.purdue.edu/poultry/multistate/Multi-state.pdf [23 Februari 2008].

Ricke SC. 2003. Perspectives on the use of organic acids and short chain fatty acids as antimicrobials. Poultry Science 82:632–639.

Schöner FJ. 2002. Nutritional effects of organic acids. [terhubung berkala]. http://ressources.ciheam.org/om/pdf/c54/01600011.pdf. [29 mei 2008].

Kamis, 02 Juni 2011

Kajian Profil dan Permasalahan Produksi dan pemasaran pada usaha budidaya ayam broiler pola kemitraan dan pola mandiri di kabupaten Banjar

Kajian Profil dan Permasalahan Produksi dan Pemasaran pada Usaha Budidaya Ayam Broiler Pola Kemitraan dan Pola Mandiri di Kabupaten Banjar

(Profile and Problem of Production and Broiler Marketing at Two Model
Farming System at District of BanjarRegion )

Tintin Rostini dan Danang Biyatmoko

*) Jurusan Produksi Ternak Faperta Uniska Jl. Adyaksa No. 2 Banjarmasin KalSel


ABSTRACT
Objectives of this research is to know the profile and problem of production and broiler marketing at farming at two model system of plasma farm and farmer farm at district of Banjar region.
This research using survey method and questioner. Research using 30 respondens by purposive sampling technic (Gays ,1991). This data will analized by descriptive method depend on the aspecs.
Result of this research showed broiler bussines still significan produce good margin for farmer seeing by aspecs : a) supplay and demand , b) selling price of broiler , c) opportunity of market, and d) policy of governance. All aspecs are positive to help farmer get the profit. But there are some trouble so the farmer must anticipate it if they want to success in their bussines of broiler farm. Some trouble that identify consist of two items, that are production trouble and market trouble . The market trouble are fluctuation selling price of broiler, capital and there is manipulated price of product and equipment from farm industri to plasma farmer. The production trouble are weakness of market acces, fluctuated of selling price product, family system og management, low of margin, low skill of farmer, and the doubness of bank to support the farmer bussines of broiler.
Key word : profile plasma and farmer farm, broiler, district of Banjar region

PENDAHULUAN
Usaha ayam ras pedaging merupakan salah satu jenis usaha yang sangat potensial dikembangkan. Hal ini tidak terlepas dari berbagai keunggulan yang dimilikinya antara lain masa produksi yang relative pendek kurang lebih 32-35 hari, produktivitasnya tinggi, harga yang relative murah, dan permintaan yang semakin meningkat. Beberapa faktor pendukung usaha budidaya ayam ras pedaging sebenarnya masih dapat terus dikembangkan, antara lain karena permintaan domestik terhadap ayam ras pedaging masih sangat besar. Kecenderungan ini dapat dihubungkan dengan pertumbuhan permintaan terhadap daging ayam ras yang rata-rata besarnya mencapai 7% per tahun. Angka kebutuhan nasional terhadap daging ayam ras sebesar 3,3 kg per kapita per tahun. Pertambahan permintaan terjadi karena kenaikan pendapatan perkapita, pertambahan penduduk dan peningkatan kesadaran gizi sebagai akibat berhasilnya program penyuluhan gizi. Peningkatan permintaan juga terjadi sewaktu-waktu disebabkan karena lonjakan permintaan terjadi pada hari-hari besar (lebaran, natal, tahun baru) maupun pada akhir-akhir bulan.
Kabupaten banjar merupakan salah satu kabupaten yang mendapatkan prioritas pertama yang dicanangkan Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan selatan sebagai sentra pengembangan ayam ras pedaging, Hal ini didukung dengan luas areal dan topografi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk usaha peternakan. Kondisi ini juga ditunjang oleh banyaknya perusahaan kemitraan pola Inti-Plasma dan beberapa poultry shop yang mendukung berkembangnya populasi ayam ras pedaging. Disamping itu bibit dan saprodinya juga didukung oleh berdirinya beberapa pembibitan dan penetasan ayam ras pedaging di Kabupaten Banjar dan kabupaten sekitarnya antara lain PT Wonokoyo Rojokoyo di kecamatan Ulin, PT Patriot di kecamatan Bati-Bati, PT Samsung serta berdirinya industri pakan ternak PT Japfa Comfeed di Kabupaten Tanah Laut.
Berdasarkan Data Statistik Peternakan Kalsel (2008) populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Banjar tahun 2008 yaitu 3 949 998 ekor atau 18.342 % dari populasi ayam ras pedaging Kalsel. Jumlah populasi ayam yang besar ini mampu menyerap tenaga kerja yang bekerja pada peternakan ayam ras pedaging sebanyak 20.624 orang (Statistik Peternakan 2008) dari data ini kita memperoleh gambaran bahwa Kabupaten Banjar merupakan pemasok ayam ras pedaging potensial untuk kabupaten-kabupaten lain.
Usaha budidaya ayam ras pedaging (broiler) ini saat ini dikembangkan melalui pola kemitraan antara perusahaan dan peternak plasma dengan system Inti-Mitra dan juga pola mandiri yang dikembangkan peternak mandiri melalui pendanaan mandiri atau pinjaman melalui kredit perbankan. Namun demikian banyak disinyalir usaha ini dipengaruhi oleh kendala dan permasalahan dalam aspek produksi dan pemasaran. Untuk mengoptimalkan upaya pertumbuhan dan pengembangan UMKM ini maka perlu kita ketahui profil dan permasalahan yang ada di peternak dan lingkungan terkait lainnya baik pelaku usaha, pedagang ayam (brooker), perusahaan kemitraan dan peternak yang terlibat dalam mata rantai usaha ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan kajian profil dan permasalahan pada aspek produksi dan pemasaran yang terjadi pada usaha budidaya ayam broiler dalam pengembangan komoditas usaha ayam broiler di Kabupaten Banjar.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu
Penelitian berlangsung selama 3 bulan,dimulai dari persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian (survei dan penjaringan data responden), sampai laporan akhir penelitian. Penelitian dilaksanakan pada peternakan ayam broiler baik yang mengikuti Pola Kemitraan dengan perusahaan kemitraan atau peternak mandiri yang membiayai secara mandiri usaha broiler yang dijalankan, yang berada pada sejumlah desa dan kecamatan pada Kabupaten Banjar sebagai salah satu sentra peternakan ayam broiler di Kalimantan Selatan.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan metode survei dan kuesioner, menggunakan 30 responden berasal dari peternak ayam broiler baik pola mandiri maupun pola kemitraan, perusahaan kemitraan, dan pedagang ayam (brooker), menggunakan teknik purposive sampling (Gays, 1981). Purposive sampling responden juga dilakukan berdasarkan tingkat sebaran populasi ayam broiler di desa dan kecamatan yang ada di Kabupaten Banjar.

Analisis Data
Data dianalisis secara deskriftif berdasarkan aspek pembahasan sesuai kajian penelitian yang dilakukan meliputi aspek permintaan, penawaran, .

HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Peternakan Ayam Broiler
A. Permintaan
Beberapa faktor pendukung bisnis usaha kecil budidaya ayam ras pedaging sebenarnya masih dapat terus dikembangkan, antara lain karena permintaan domestik terhadap ayam ras pedaging masih sangat besar. Kecenderungan ini dapat dihubungkan dengan pertumbuhan permintaan terhadap daging ayam ras yang rata-rata besarnya mencapai 7% per tahun. Angka kebutuhan nasional terhadap daging ayam ras sebesar 3,3 kg per kapita per tahun. Sementara itu permintaan terhadap total daging unggas hanya sebesar 4.6 Kg per tahun. Dengan demikian protein hewani asal daging unggas, yang berasal dari daging ayam ras mencapai 71,7%.
Permintaan (demand) di Kab. Banjar saja, didekati dari jumlah pemotongan ayam ras pedaging mencapai 20 ribu ekor/hari. Sementara berdasarkan hasil diskusi dengan pihak terkait ayam ras pedaging yang dijual keluar dari Kab. Banjar berkisar 60 – 70 ribu ekor/ hari atau setara dengan 97,2 – 113,4 ton per hari. Permintaan yang cukup tinggi ini dicukupi sebagian besar dari suplay ayam berasal dari peternak plasma Pola Kemitraan dan selebihnya peternak Pola Mandiri. Dari tahun ke tahun populasi ayam ras pedaging di Kab. Banjar juga menunjukkan peningkatan seiring menggeliatnya pertumbuhan peternak ayam di bisnis ini. Tercatat pada Tahun 2008, peningkatan pertumbuhan ternak ayam ras pedaging di Kab. Banjar meningkat 3,6 % dengan populasi mencapai 3.949.998 ekor dan kecenderungannya akan terus tumbuh. Daging berasal dari ayam ras pedaging juga memberikan sumbangan yang besar bagi masyarakat Kab. Banjar dengan meningkatnya konsumsi daging ternak yang besarnya mencapai 10,23 kg/kapita/tahun atau setara dengan 0,53 gram/kapita/hari. Walaupun demikian capaian ini masih jauh lebih rendah dari standar capaian nasional sebesar 6 gram/kapita/hari. Dengan demikian tingkat capaian Kab. Banjar masih berkisar 69,66% (Laporan Tahunan Disnak Kab. Banjar, 2008) dari standar nasional. Target ini masih dapat terus ditingkatkan mengingat kebutuhan masyarakat akan daging ayam yang juga meningkat dari tahun ke tahun. Tingkat harga eceran daging ayam ras yang relatif masih jauh lebih murah (Rp14.000,00 per Kg) daripada harga daging sapi (Rp 60.000 per Kg), juga merupakan faktor dominan yang menentukan tingginya permintaan terhadap protein yang berasal dari hewan.
B. Penawaran
Secara umum , produksi ayam ras pedaging di Kab. Banjar dapat berlangsung 6 kali siklus panen dalam setahun. Dalam 6 kali siklus tersebut terdapat 1 – 2 siklus panen yang kurang baik, yaitu pada saat terjadi peralihan musim antara musin kemarau ke penghujan atau sebaliknya. Hal ini diakibatkan munculnya beberapa penyakit seperti CRD (Ngorok), Snot/Coryza (Pilek ) , ND (Tetelo), dan beberapa penyakit lainnya seperti Coccidiosis (Berak darah) dan Pullorum (Berak kapur). Akan tetapi dengan pengelolaan manajemen pemeliharaan dan sanitasi –higiene kandang yang baik kondisi di atas dapat dihindarkan, dan hasil produksi tetap stabil seperti pada produksi sebelumnya.
Sampai tahun 2008, tren pertumbuhan populasi ayam ras pedaging menunjukkan peningkatan 3,6 % /tahun, dan peningkatan jumlah peternak ayam ras pedaging mencapai 120 peternak/KK atau meningkat 21,66% dari tahun 2007 yang hanya berjumlah 94 peternak/KK. Wilayah kecamatan terbesar memiliki populasi ayam ras pedaging adalah Kecamatan Karang Intan sebesar 2.117.342 ekor, dan terendah Kecamatan Pengaron. Populasi ayam broiler di Kabupaten Banjar selengkapnya ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Banjar (ekor)
No Kecamatan 2004 2005 2006 2007 2008
1 Aluh-aluh - 50 000 132 973 132 973 51 743
2 Beruntung Jaya - - 260 232 260 232
3 Gambut 150 000 264 200 - - 269 313
4 Kertak Hanyar 300 000 150 000 - - 154 043
5 Sungai Tabuk 50 000 135 000 - - 137 613
6 Martapura 1 347 434 1 188 660 1 170 809 1 170 809 1 211 665
7 Martapura Timar - - 2 045 947 2 045 947 -
8 Martapura Barat - - - - -
9 Astambul 2 412 566 - 50 000 50 000 -
10 Karang Intan 105 000 2 077 140 - - 2 117 342
11 Aranio - - - - --
12 Sungai Pinang - - - - -
13 Paramasan - - - - -
14 Pengaron 25 000 10 000 148 848 148 848 8 279
15 Samsung Makmur - - - - -
16 Mataraman - - - - -
17 Simpang Empat 10 000 - - - -
JUMLAH 4 400 000 3 875 000 3 808 809 3 808 809 3 949 998
Sumber : Kabupaten Banjar dalam Angka (2008)

C. Harga Penjualan
Model Plasma Pola Kemitraan : Harga ditentukan oleh Inti berdasarkan harga kontrak pembelian ayam di awal usaha. Posisi plasma lemah dan bargaining nya lemah. Dengan posisi sebagai pembeli tunggal hasil panen ayam ras pedaging , dan adanya tanggungjawab terhadap kesinambungan usaha peternak plasmanya, maka harga yang pantas akan merupakan jaminan kesinambungan pasar dan ikatan emosional yang baik bagi model ini.
Model Peternak Pola Mandiri : Harga ditentukan oleh harga pasar di tingkat eceran, semakin tinggi harga eceran ayam ras pedaging maka harga ayam di kandang yang akan diterima peternak mandiri akan lebih baik. Walaupun harga ini masih banyak dipengaruhi oleh banyak faktor dan seringnya terjadi fluktuasi harga. Tidak ada jaminan terhadap kontinuitas pasar dan kelangsungan usaha mereka.
Berdasarkan data harga yang diperoleh dari Dinas Peternakan Provinsi (2009) diperoleh gambaran variasi harga seperti pada Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Harga jual rata-rata di tingkat peternak ayam ras pedaging di Kab. Banjar Tahun 2009

No Bulan Panen Ayam Ras Pedaging Harga Peternak (Rp/Kg) Harga Grosir (Rp/Kg) Harga Konsumen (Rp/Kg)
1.
2.
3.
4.
5. Januari
Pebruari
Maret
April
Mei 13.000 – 15.000
11.000 – 12.500
12.500 – 14.500
12.000 – 16.000
15.500 – 16.000 13.500 – 15.500
11.500 – 13.500
13.500
13.500 – 16.500
14.500 – 16.500 14.500 – 16.000
12.000 – 14.500
14.500
14.500 – 17.500
15.500 – 17.500
Sumber : Laporan Dinas Peternakan Provinsi KalSel (2009)
Berdasarkan harga pada Tabel 2 terlihat bahwa harga ayam ras pedaging menunjukkan kestabilan baik pada tingkat peternak, grosir maupun tingkat konsumen. Akan tetapi kalau kita cermati terlihat adanya kecenderungan kenaikan harga walaupun tidak signifikan. Hal ini baik bagi peternak untuk meningkatkan margin usaha (pendapatan) dari budidaya ayam yang dilakukan. Kenaikan harga tersebut baru berdampak positif apabila kenaikan harga jual ayam tidak diikuti kenaikan harga pakan yang berimbas pada kenaikan ongkos produksi, sehingga dapat dirasakan manfaatnya bagi peternak dalam meningkatkan laba usaha ayamnya.
D. Peluang Pasar
Peluang pasar yang cukup besar bagi usaha ayam ras pedaging karena permintaan konsumen akan daging ayam pedaging masih tinggi, sementara penawaran ayam pedaging dari peternak mandiri dan plasma atau peternakan komersial perusahaan Inti masih belum mencukupi. Data yang diperoleh menyebutkan dalam satu hari ayam pedaging yang keluar dari Kab. Banjar mencapai 60.000 - 70. 000 ekor/hari , sementara serapan pasar di Kab. Banjar hanya 20.000 ekor/hari sehingga sisanya keluar dijual untuk memenuhi permintaan yang tinggi berasal dari Kabupaten/Kota yang lain baik di provinsi sendiri bahkan diluar provinsi termasuk di provinsi KalTeng (Pangkalan Bun, Kapuas, Muara Teweh, Palangka Raya) dan KalTim (Samarinda, Balikpapan). Jumlah yang besar untuk ukuran sebuah kabupaten, dan serapan pasar yang tinggi menjanjikan peluang usaha yang sangat cerah untuk bisnis ini ke depan.
Permintaan yang tinggi sebagai peluang pasar yang perlu diraih pada produk ayam pedaging juga diakibatkan oleh hal-hal meliputi :
1. Peningkatan taraf pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat .
2. Peningkatan kesadaran gizi masyarakat
3. Alternatif sebagai pilihan sumber protein hewani yang murah dibanding daging ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing) .
Dilihat dari sisi dukungan kebijakan pemerintah yang ada, usaha yang terbanyak dikelola oleh peternak dan petani ini sangat dilindungi perundangan yang ada. Kebijakan yang berpihak tersebut dapat dilihat antara lain :
a. Kebijakan dari Pemerintah
Kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mendorong dan mendukung pengembangan usaha kecil budidaya ayam ras pedaging (UMKM), mengacu kepada :
o UU Tentang Usaha Kecil No. 9 Tahun 1995.
o UU Tentang Koperasi No. 25 Tahun 1992.
o Keppres No. 22 Tahun 1990, SK Menteri Pertanian No. 62/Kpts/TN.120/1990 dan No.472/Kpts/TN.330/6/1996 serta SK Direktur Bina Pembibitan No. TN.270/346/C/III-0296, yang kesemuanya dapat dikaitkan dengan pengaturan pengembangan budidaya ayam ras pedaging.
b. Kebijakan pada Sektor Moneter
Sedangkan kebijakan pemerintah di sektor moneter yang erat kaitannya dengan upaya-upaya pengembangan usaha kecil pada umumnya, khususnya yang berkaitan pula dengan pengembangan usaha kecil dibidang budidaya ayam ras pedaging, salah satu diantaranya adalah berupa kebijakan yang dikembangkan secara berkesinambungan dalam bidang perkreditan yang sesuai dan cocok dengan kebutuhan masyarakat usaha kecil (pengaturan bunga pada SKIM yang ditawarkan pada Bank –Bank yang ditunjuk BI, seperti Bank BRI dan Bank BPD).
c. Kebijakan di Sektor Riil
Sedangkan kebijakan pemerintah di sektor riil salah satu diantaranya adalah berupa pelaksanaan Program Kemitraan Terpadu (PKT). Melalui bentuk hubungan kemitraan antara Usaha Kecil dengan Usaha Besar ini, maka bilamana ditinjau dari sisi perbankan, tingkat kelayakan bisnis usaha kecil budidaya ayam ras pedaging dapat ditingkatkan. Dengan demikian untuk mendapatkan bantuan kredit semakin terjamin.

E. Pemasaran
Penjualan ayam dilakukan dalam bentuk ayam hidup. Pemasaran ayam ras pedaging dari tingkat peternak baik peternak mandiri Pola Mandiri maupun peternak plasma Pola kemitraan umumnya melalui rantai tataniaga yang cukup ringkas. Pada tingkat peternak plasma Pola Kemitraan , pemasaran dilakukan langsung oleh Inti melalui pola kontrak pembelian yang dilakukan di awal kerjasama dengan masing-masing peternak. Kemudian dari Inti baru didistribusikan atau dijual kepada pedagang pengumpul (broker), selanjutnya diteruskan kepada kelompok pembeli industri olahan, kelompok Makromarket dan kelompok pembeli pembeli retail atau pengecer seperti fast food, pasar tradisional, depot, warung makan. Pada akhir mata rantai pemasaran adalah konsumen sebagai pengguna untuk diolah sebagai pangan.
Pada pola Mandiri, pemasaran lebih sederhana dimulai dari peternak menjual ayam kepada Pedagang pengumpul (broker) tanpa melalui pihak Inti karena membiayai sendiri modal kerjanya, selanjutnya distribusinya sama seperti mata rantai yang ada. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan pemasaran ayam ras pedaging dari pihak produsen (peternak mandiri) dapat langsung sampaipada mata rantai akhir yaitu konsumen pengguna tanpa melalui perantara atau mata rantai di atasnya. Pada beberapa kondisi tertentu, tempat peternakan ayam sering dikunjungi langsung konsumen dan membeli langsung baik secara berdasarkan kontrak atau pembelian retail biasa sesuai kebutuhan konsumen yang ada disekitar wilayah peternakan.
Permasalahan Usaha Budidaya Ayam Broiler
A. Permasalahan Produksi
Masalah atau kendala produksi masih dihadapi dalam budidaya ayam ras pedaging. Kendala terbesar lebih banyak dialami oleh peternak Pola Mandiri dibandingkan peternak plasma Pola Kemitraan. Secara umum kendala utama yang dapat menyebabkan usaha mikro kecil menengah (UMKM) ini mengalami kegagalan produksi, meliputi :
a. Lemahnya Akses Pasar
Posisi tawar yang rendah dan akses pasar yang lemah menyebabkan modal usaha menjadi kurang produktif. Kondisi ini ikut menyumbang faktor penyebab kegagalan usaha yang dijalankan.
b. Harga Jual Ayam Yang Berfluktuasi
Fluktuasi harga penjualan ayam yang terjadi di pasar ayam ras pedaging, menyebabkan adanya ketidakpastian keuntungan penjualan yang diterima oleh para peternak kecil.
c. Sistem Manajemen Keluarga
Modal usaha atau dana yang dikelola dalam usaha ayam ras pedaging relatif besar, sedangkan keuntungan (margin usaha) yang diperoleh peternak tersebut umumnya relatif kecil. Apabila masih menggunakan sistem manajemen keluarga dimana kebutuhan rumah tangga peternak tidak dipisahkan secara benar dengan modal usaha peternakan, maka seringkali terpakai mencukupi pengeluaran rumah tangga yang berakibat menurunkannya modal usaha dan berimpak pada kegagalan dalam pengelolaan usaha ayamnya.
d. Rendahnya Margin Usaha
Rendahnya margin usaha dalam budidaya ayam ras pedaging menyebabkan peternak sulit mengembangkan dan memperbesar skala usaha yang lebih ekonomis, agar usahanya mampu memberi pendapatan keluarga yang lebih layak. Hal ini akan menurunkan semangat dan kegigihan berusaha bagi peternak dalam memajukan usaha ayamnya.
e. Kualitas SDM Peternak masih rendah
Keterampilan (skill) dan pengetahuan tekhnis beternak ayam dari peternak baik plasma dan mandiri masih tergolong rendah. Kemampuan berinovasi dalam teknologi dan budidaya masih kurang baik sehingga memerlukan waktu untuk menjadi peternak unggul. Hal ini pada akhirnya ikut andil terhadap kemajuan usaha ayamnya.
f. Keraguan Pihak Bank dalam Pendanaan Peternak Mandiri
Pada umumnya sebagian besar peternak mandiri tidak mampu memenuhi persyaratan teknis bank, sehingga mereka selalu menghadapi kesulitan untuk mendapatkan dukungan pinjaman kredit guna pengembangan usahanya. Beberapa kendalanya adalah :
• Jumlah peternak mandiri lebih kecil rasionya dibanding jumlah peternak plasma, sehingga sering terjadi permainan harga jual ayam saat panen raya oleh Perusahaan Inti (Pola kemitraan) yang menyebabkan harga yang merugikan peternak mandiri. Dampaknya adalah seretnya pengembalian angsuran kredit ke bank akibat kerugian yang ditimbulkan.
• Kesulitan dalam memenuhi persyaratan pengajuan kredit usaha di bank apabila tidak dalam bentuk kelompok ternak, karena ketiadaan jaminan (agunan).
• Sejak kejadian wabah flu burung beberapa bank memutuskan tidak lagi memberi pinjaman kredit usaha ayam, sampai ada pencabutan tertulis dari pihak bank pusat di Jakarta. Ini menyebabkan perkembangan peternakan ayam ras pedaging di Kab. Banjar belum pesat berkembang sejak flu burung terjadi hingga saat ini.
B. Permasalahan Pemasaran
Masalah pemasaran yang kadang mengganjal jalannya usaha adalah :
1. Dilema akibat fluktuasi harga yang mungkin dapat menyebabkan peternak mandiri mengalami kerugian yang berkepanjangan, yang dapat menjadi penyebab kegagalan usaha dan bangkrutnya usaha yang dijalankan.
2. Peternak mandiri dan plasma menghadapi kekurangan modal kerja, dan sulitnya mendapatkan pinjaman kredit Bank karena ketiadaan agunan atau jaminan lainnya.
3. Terjadi manipulasi terhadap jumlah, mutu dan harga beli dari Inti kepada para peternak yang menjadi plasmanya. Ketidak transparanan mengenai proses jual beli dan mekanisme pembayaran tersebut di atas memungkinkan terjadinya ketidaksinambungan dari proses pemasaran, yang pada gilirannya berdampak pula kepada kegagalan dalam mengangsur kredit.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Usaha budidaya ayam broiler di Kabupaten Banjar masih prospektif dan cukup menjanjikan, dengan alasan :
a. Permintaan ayam ras pedaging di Kab. Banjar cukup tinggi berkisar 60 – 70 ribu ekor/ hari atau setara dengan 97,2 – 113,4 ton per hari.
b. Penawaran cukup baik, dimana dengan produksi ayam ras pedaging 6 kali siklus panen/tahun dengan tren pertumbuhan menunjukkan peningkatan 3,6 % /tahun, mampu menyediakan populasi ayam broiler mencapai 3 949 998 ekor / tahun.
c. Fluktuasi harga jual ayam broiler masih dalam batas toleransi yang menguntungkan peternak. Broiler.
d. Pasar ayam broiler cukup baik, dimana penentuan penjualan ayam sangat ditentukan oleh bobot jual ayam yang segmennya berbeda pada peternak pola kemitraan maupun peternak pola mandiri .
e. Dari sisi dukungan kebijakan pemerintah yang ada, usaha yang terbanyak dikelola oleh peternak dan petani ini sangat dilindungi perundangan yang ada
2. Permasalahan utama pada aspek produksi adalah lemahnya akses pasar, harga jual yang fluktuatif, sistem manajemen keluarga, rendahnya marjin usaha, kualitas SDM peternak masih rendah, dan khususnya pada peternak mandiri masih adanya keraguan pihak bank dalam pendanaan usaha budidaya ayam broiler.
3. Permasalahan utama dalam aspek pemasaran adalah fluktuasi harga jual ayam broiler, kurangnya modal usaha ( kemitraan dan peternak mandiri), maupun adanya manipulasi terhadap jumlah, mutu dan harga beli dari Inti kepada para peternak yang menjadi plasmanya (kemitraan).


DAFTAR PUSTAKA
Buku Saku Peternakan Tahun 2004-2008. Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru.

Cahyono, Bambang, .1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging (Broiler). Penerbit Pustaka Nusatama Yogyakarta

Direktorat Bina Usaha Petani Ternak dan Pengolahan Hasil Ternak 1997. Usaha Peternakan, Perencanaan Usaha, Analisa dan Pengelolaan . Jakarta
Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1990, SK Menteri Pertanian No. 62/Kpts/TN.120/1990 dan No.472/Kpts/TN.330/6/1996 .SK Direktur Bina Pembibitan No. TN 270/346/C/III-0296, Tentang pengaturan Pengembangan Budidaya Ayam ras Pedaging
Kabupaten Banjar Dalam Angka. 2004 - 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan.

Laporan Analisa Supply & Demand Daging dan Telur Kalimantan Selatan Tahun 2008 Sub Dinas Pengolahan dan Mutu Hasil Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarnaru.

Laporan Produksi Dinas Peternakan Kabupaten banjar , 2008. Distanhud, Bidang Peternakan Kabupaten Banjar

Menteri Pertanian Republik Indonesia. 2002. Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan. Jakarta.

Produksi Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan. 2008. Laporan Biro Perekonomian Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
A
Peraturan Pemerintah No 44. Tahun 1997 Tentang Kemitraan.Jakarta
III . DESKRIPSI DASAN
Peraturan Pemerintah No 16 tahun 1977. Tentang Usaha Peternakan. Jakarta
Undang-undang No 9 . Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil .
Yana Supriyatna, Sri Wahyuni Dan I Wayan Rusastra. 2006. Analisis Kelembagaan Kemitraan Usahaternak Ayam Ras Pedaging,Laporan Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner . Jakarta.

Jumat, 27 Mei 2011

Penelitian yang didanai DP2m Dikti tahun 2008

Hasil Produksi Jagung Semi Dan Kualitas Jerami Jagung Sebagai Pakan Ternak Dari Dua Varietas Dan Tingkat Kepadatan Yang Berbeda
(Yield baby corn and quality corn forages as livestock forages from two varieties and difference of crop densities )

Tintin Rostini
Staf pengajar Faperta Uniska Banjarmasin Kalimantan Selatan

ABSTRACT
The research aim is to know the effect of crop densities and baby corn varieties to get baby corn yield and quality livestock forages ..
This research was done at Sungai Besar Village,Banjarbaru . This research using completely factorial randomized design with two factors, and three replications of each. The first factor was corn variety (V) consist of V1 (CP1-2) and V2 (Arjuna), and the second factor was corp density ( K) consist of K1 ( 25 000 crops. ha-1 ), K2 (50 000 crops. ha-1), K3 (75 000 crops. ha-1) and K4 (100 000 crops. ha-1), so there are 8 treatments combination .
Result of experiment obtained there was signifikan interaction between varieties and density on baby corn’s production, combintion V2K2 produced was the highest baby corn weight of production was about 7,090 kg.ha -1. This result also showed that qualities corn forages of three varieties of baby corn were not no significant .

Key words : Baby corn, variety, crop density, corn forages yield

PENDAHULUAN
Hijauan makanan ternak, merupakan salah satu bahan makanan yang sangat diperlukan dan besar manfaatnya bagi kehidupan ternak, terlebih untuk ternak ruminansia. Oleh karena itu hijauan sebagai salah satu pakan yang merupakan dasar utama dalam usaha pengembangan peternakan, baik untuk berkembangbiak, maupun untuk bereproduksi (Sumantri, Soewardi, Samad dan Sukiran , 2003).
Penyediaan hijauan makanan ternak dengan kualitas dan kuantitas yang cukup merupakan kunci keberhasilan peningkatan produksi ternak. Penyediaan hijauan makanan ternak di daerah tropis, sangat dipengaruhi oleh system usaha tani yang berlaku di suatu daerah (Dohi, 1998). Daerah di Indonesia yang mempunyai system usaha tani tanah sawah, sumber makanan ternak ruminansia terutama berasal dari hasil ikutan atau limbah pertanian, seperti jerami tanaman pangan atau sisa-sisa pertanian lainnya.
Salah satu tanaman pangan yang memberikan harapan besar dapat dilakukan diversifikasi dan limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak adalah tanaman jagung semi. Jagung semi (baby corn) merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh petani/peternak selain memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya, juga peluang untuk memasarkannya semakin terbuka. Selain dapat digunakan sebagai sayuran oleh semua golongan masyarakat, batang dan daun jagung sisa panen bisa dipakai untuk pakan ternak yang memiliki hijauan berkualitas baik ( Goenawan, 1989)
Kualitas suatu hijauan makanan ternak tidak konstan, ada perubahan- perubahan yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain umur tanaman , kesuburan tanah, keadaan cuaca dan keadaan persedian air. Pada musim kemarau (tanah kering) maka tanaman jagung akan tumbuh kering sehingga nilai gizinya akan berubah (Sarwono, 1995). Umur tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai nutrisi, dan pada umumya kadar protein akan turun sesuai dengan meningkatnya umur tanaman, tetapi kadar serat kasar menunjukkan keadaan sebaliknya (Susetyo, 1980)
Sekarang penanaman jagung tergantung pada tujuan penggunaanya, apakah sebagai jagung pipilan, jagung rebus, jagung sayur (baby Corn) atau sebagai hijauan pakan (Soedarmadi, 1990). Sebagai jagung semi , tanaman dipanen pada saat setelah berbunga, yakni pada umur 8 – 9 minggu, karena pada saat tersebut produksi bahan kering per hektar telah mencapai maksimum (Wilkinson, 1978) .
Untuk mengoptimalkan fungsi lahan sebagai media tanam khususnya tanaman jagung semi ini, hasil produksi jagung semi serta produksi hijauan jagung termasuk kualitasnya sangat tergantung kepada model penanaman yang dilakukan. Terdapat kesulitan menentukan kepadatan tanaman yang optimal agar berproduksi tinggi, berkualitas baik hijauan segar maupun silasenya. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap efisiensi lahan yang makin hari menjadi semakin mahal sehingga perlu diteliti tentang hal ini, agar ke depan dualisme kepentingan ini baik sebagai penghasil bahan pangan (jagung semi) maupsebagai hijauan pakan ternak dapat sama-sama diuntungkan dengan mengoptimalka un n penggunaan lahan yang ada.sehingga didapat kualitas limbah (hijauan jagung) sebagai pakan ternak yang berkualitas baik. Dan akan lebih bermanfaat sebagai pakan ternak
Tillman et al., (1989) menyatakan bahwa faktor - faktor yang mempengaruhi kecernaan antara lain adalah komposisi nutrisi makanan, jenis hewan dan jumlah makanan. Selanjutnya dinyatakan bahwa, umur hijauan makanan ternak juga merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kecernaan. Hijauan yang masih muda akan lebih dapat dicerna daripada hijauan yang sudah tua. Apabila hijauan makin tua, proporsi selulose dan hemisellulosa bertambah, sedangkan karbohidrat yang terlarut dalam air akan berkurang.
Selama ini masih kesulitan menentukan berapa banyak tanaman yang optimal sehingga dapat memaksimalkan produksi dan kualitas nutrisi tetap baik. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap efisiensi lahan yang makin hari menjadi semakin mahal. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang hal ini. agar ke depan dualisme kepentingan ini baik sebagai penghasil bahan pangan (jagung semi) maupun sebagai hijauan pakan ternak dapat sama-sama diuntungkan dengan mengoptimalkan penggunaan lahan yang ada. Sehingga bagi sisi usaha peternakan akan mampu mengatasi kesulitan pakan karena kendala kualitas hijauan yang rendah, serta mampu meningkatkan bobot ternak secara nyata.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya interaksi antara varietas dengan tingkat kepadatan tanaman pruduksi jagung semi dan kualitas nutrisi hijauan jagung.

BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sungai Besar Kecamatan Banjarbaru. Kotamadya Banjarbaru Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan . Alat- alat yang digunakan adalah : Meteran, oven timbangan analitik, cangkul,Gunting rumput, label, oven, sprayer,gelas ukur. Bahan-bahan yang digunakan adalah benih jagung semi Varietas besari bebas ( Arjuna) dan Varietas Hibrida CPI-2. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea, SP-36 dan KCl. Furadan 3 G, Decis dan Ridomil, tetes untuk pembuatan silase
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan tiga kali ulangan. Perlakuan-perlakuan tersebut adalah sebagai berikut
Faktor pertama adalah varietas jagung semi (V) terdiri atas Varietas Jagung CPI-2 (V1) dan Varietas Arjuna(V2). Faktor kedua adalah kepadatan tanaman (K) terdiri dari atas empat taraf, yaitu Kepadatan 25 000 tnm. ha-1 (K1), kepadatan 50 000 tnm. ha-1 (K2), kepadatan 75 000 tnm. ha-1 ( K3) , dan kepadatan 100 000 tnm. ha-1 (K4)
Dalam penelitian ini pengolahan tanah dilakukan sebanyak dua kali pencangkulan, kemudian dibuat petak-petak penelitian dengan ukuran setiap petak 4 x 5 m sebanyak 24 petakan, jarak antar petak perlakuan 0,50 m .
Benih jagung ditanam secara tugal sedalam 3 – 5 cm, dengan jarak disesuaikan perlakuan. Pada saat menanam lubang tanam ditaburi furadan 3G dosis 25 kg ha-1. kemudian lubang tanam ditutup. Sedangkan panen dilakukan pada umur 56 hari setelah tanam.
Panen jagung semi dilakukan terhadap tongkol yang masih muda. Jagung semi dipanen ditandai dengan rambut tongkolnya sudah mencapai sekitar 3 - 5 cm, warna rambut putih kemerahan-merahan, kelobot berwarna hijau. Dan jerami jagung masih berwarna hijau .

Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah berat tongkol per petak, jumlah tongkol pertanaman, berat per tongkol sedangkan kualitas nutrisi hijauan jagung yang diukur terdiri dari kadar air, protein kasar, Serat kasar, Total Digestion Nutrien (TDN), kadar air dan kadar abu

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berat Tongkol Per Petak
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan interaksi varietas dengan tingkat kerapatan tanaman. Memberikan pengaruh yang sangat nyata (p< 0.01) terhadap berat tongkol jagung semi..
Tabel 1. Berat tongkol per petak (kg) dari dua varietas jagung
Varietas Kepadatan Tanaman (ha-1) Rataan
K1 K2
K3
K4

V1 9,08a 14,07cd 13,95cd 11,75bc 12,49
V2 10,46ab 14,18d 11,18b 9,09a 11,37
Rataan 9,77 14,13 12,56 10,42 11,93
Keterangan:Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata
(P< 0,01)

Berdasarkan tabel 1 di atas menunjukkan bahwa Varietas Arjuna dengan kepadatan 50 000 tnm ha-1 (V2K2) adalah hasil yang paling tinggi yaitu 14,18 kg per petak walaupun hasil ini tidak berbeda nyata dengan Varietas CP1-2 dengan kepadatan tanaman yang sama yakni 50 000 tnm ha-1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan varietas jagung Arjuna dengan kepadatan 50 000 tnm ha -1 (V2K2) memberikan hasil tertinggi yaitu sebesar 14,18 kg per petak atau setara dengan 7,090 kg ha-1 berat tongkol jagung semi.
Kepadatan tanaman ditingkatkan baik untuk varietas Arjuna maupun varietas CP1-2 cenderung menurunkan hasil tongkol jagung. Diduga karena adanya persaingan mendapatkan sinar matahari, unsur hara dan air yang diperlukan tanaman. Lebih-lebih penelitian ini dilaksanakan di tanah podsolik yang diketahui miskin hara, kandungan bahan organik yang rendah, di tanah podsolik menyebabkan daya serap tanah terhadap air tanah rendah. Hal ini senada dengan pendapat Mauliani dan Suryanto (1985) bahwa produksi jagung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi tanaman per satuan luas yang berhubungan erat dengan pemanfaatan sinar matahari secara maksimal dalam pertumbuhan. Sedangkan menurut pendapat Sutoro et al., (1988) menyatakan bahwa jumlah populasi tanaman sangat menentukan hasil suatu tanaman, semakin rapat jarak tanamam makin besar kompetisi dalam mengabsorpsi faktor-faktor tumbuh seperti unsur hara, air , CO2 dan cahaya matahari.
Jumlah Tongkol Per Tanaman

Jumlah tongkol per tanaman menunjukkan bahwa interaksi varietas dengan kepadatan tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tongkol per tanaman. Faktor tunggal kepadatan tanaman memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap jumlah tongkol per tanaman . Jumlah tongkol per tanaman dari dua varietas pada beberapa kepadatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah tongkol per tanaman (buah) dari dua varietas jagung
Varietas Kepadatan Tanaman (ha-1) Rataan
K1 K2
K3
K4

V1 2,80 2,46 2,20 1,87 2,33
V2 2,87 2,40 2,20 1,93 2,35
Rataan 2,83c 2,43b 2,20b 1,90a 2,34
Keterangan:Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P< 0,01)

Berdasarkan tabel di atas terlihat pada kepadatan 25000 tnm ha-1 (K1) menunjukkan jumlah tongkol per tanaman tertinggi yaitu rata –rata 2,83 buah tongkol per tanaman sedangkan pada kepadatan 100 000 tnm ha-1 (K4) jumlah tongkol per tanaman rata-rata 1,93 buah. Pada Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi kepadatan tanaman maka jumlah tongkol per tanaman semakin sedikit. Sedangkan varietas jagung tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada jumlah tongkol per tanaman baik varietas Arjuna maupun varietas Hibrida CP1-2.
Jumlah tongkol per tanaman sangat dipengaruhi oleh semakin meningkatnya jumlah tanaman. Hal ini karena semakin meningkatnya jumlah tanaman maka akan semakin tinggi persaingan mendapatkan sinar matahari, unsur hara dan air di dalam tanah untuk pembentukan berat tongkol dan jumlah tongkol per tanaman . Sedangkan varietas jagung tidak mempengaruhi secara nyata terhadap . Hal ini disebabkan karena sifat-sifat yang dimiliki jagung Hibrida CPI-2 dan Jagung Arjuna secara genetik memiliki kesamaan. Kedua varietas ini memiliki keunggulan dalam produksi tongkol jagung seperti dilaporkan Sudjana et al. (1991) yang menyatakan bahwa jagung Hibrida varietas CPI-2 dan Jagung varietas Arjuna dapat digunakan sebagai penghasil jagung semi yang berproduksi tinggi.

Berat Per Tongkol

Hasil berat per tongkol jagung semi menunjukkan bahwa interaksi varietas dengan kepadatan tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap berat per tongkol. Faktor tunggal kepadatan tananman memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap berat per tongkol . Rataan berat per tongkol dari dua varietas dapat dilihat pada Tabel 3.


Tabel 3. Berat per tongkol dua varietas jagung semi (g).

Varietas Kepadatan Tanaman (ha-1) Rataan
K1 K2
K3
K4
)
V1 64,92 57,02 42,29 31,51 49,51
V2 73,00 59,08 33,89 23,54 47,37
Rataan 70,12d 58,05c 38,08b 27,52a 48,44
Keterangan:Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P< 0,01)


Pada kepadatan 25 000 tnm ha-1 (K1) menunjukan berat tongkol tertinggi yaitu rata – rata 70,12 g per tongkol sedangkan pada kepadatan 100 000 tnm ha-1 (K4) berat tongkol rata-rata 27,52 g per tongkol . Pada Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi kepadatan tanaman maka berat tongkol semakin kecil. Sedangkan varietas jagung tidak menunjukan perbedaan yang nyata pada berat tongkol baik varietas Arjuna maupun varietas Hibrida CP1-2.

Kualitas Nutrisi Hijauan Jagung Semi

Bahan makanan ternak dikatakan bernutrisi tinggi apabila kandungan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh ternak dalam keadaan mudah dicerna dengan komposisi yang baik serta mempunyai nilai cerna tinggi (Sosroamidjojo dan Soeraji 1981). Indikator bernutrisi baik dari kandungan Protein Kasar (PK), Serat Kasar (SK) Total Digestion Nutrien (TDN), kadar air dan kadar abu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi tingkat kepadatan tanaman dengan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan protein kasar, serta kasar, TDN, kadar air dan abu hijauan jagung. Begitu juga faktor tunggal kepadatan tanaman dan varietas. Rataan nilai nutrisi hijauan jagung semi dapat dilihat pada Tabel 4.




Tabel 4. Hasil analisis nilai nutrisi kadar air, Protein kasar(PK), serta kasar(SK) ,
Total Digestable Nutrien ( TDN), dan kadar abu hijauan jagung semi (%)

Hasil analisis V1K1 V1K2 V1K3 V1K4 V2K1 V2K2 V2K3 V2K4
Kadar Air 62,46 64,06 66,45 68,78 60,80 53,97 65,37 66,64
Kadar PK 10,03 10,70 8,77 7,63 10,87 10,09 8,97 8,90
Serat Kasar 28,55 31,20 33,19 32,36 29,79 32,33 33,52 35,52
TDN 61,09 60,54 56,78 57,90 61,02 59,24 58,46 59,32
Kadar Abu 6,66 5,97 4,43 3,64 6,78 5,11 4,23 3,84


Berdasarkan tabel di atas terlihat tingkat kepadatan dan varietas tanaman tidak menyebabkan perbedaan nyata terhadap kandungan Kadar air, kadar Protein Kasar (PK), kadar serat kasar (SK), kadar TDN dan kadar abu hijauan jagung. Meskipun demikian terdapat kecenderungan penurunan kadar protein kasar, TDN dan kadar abu hijauan jagung dengan meningkatnya kepadatan tanaman, tetapi untuk kadar air dan serta kasar terdapat kecenderungan peningkatan dengan meningkatnya kepadatan tanaman.
Peningkatan kepadatan tanaman menyebabkan peningkatan kadar air tanaman dari 61,63 % meningkat hingga 67,71 %. Bagi hijauan pakan yang akan dibuat silase kadar air erat kaitannya dengan kualias hasil silase. Dimana kadar air yang tinggi pada hijauan akan menyebabkan menurunnya kualitas hasil silase karena dapat memicu (trigers) peningkatan jumlah jamur silase. Hal ini berdampak kurang baik karena memerlukan tambahan waktu bagi peternak untuk menurunkan kadar air hijauan sebelum di buat silase, agar diperoleh hasil silase yang lebih baik. Tetapi peningkatan kadar air yang terjadi dalam penelitian ini dengan peningkatan kepadatan tanaman jagung semi per ha, dapat dikompensasi oleh hasil hijauan jagung yang meningkat sebagai cara penyediaan hijauan pakan yang efisien
Perbedaan varietas jagung dengan tingkat kepadatan tanaman tidak menyebabkan perbedaan terhadap kandungan SK, PK dan TDN hijauan jagung. Peningkatan kepadatanan tanaman hingga 100 000 tnm ha-1 belum menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap kualitas nutrisi hijauan jagung, walaupun ada kecenderungan terjadi penurunan kualitas nutrisi yang diindikasikan dengan penurunan kandungan PK, TDN dan peningkatan SK hijauan. Tidak nyatanya perbedaan kandungan nutrisi hijauan yang terjadi dengan meningkatnya kepadatan tanaman ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan hasil hijauan jagung semi untuk dijadikan hijauan pakan ternak
Berdasarkan hasil ini kepadatan tanaman jagung semi ke dua varietas dapat ditingkatkan sampai 100 000 tnm. ha-1 karena tidak mempengaruhi kualitas nutrisi hijauan yang diperoleh. Hal ini sangat menguntungkan bagi penyediaan hijauan pakan ternak karena dengan peningkatan kepadatan tanaman akan meningkatkan hasil jerami atau hijauan tanpa pengaruh negatif terhadap kandungan protein kasar, serat kasar dan TDN hijauan jagung. Kondisi ini sangat baik bagi keinginan petani ternak dalam upaya memperoleh hijauan pakan berkualitas tinggi dalam jumlah yang banyak dengan kualitas nutrisi yang baik.
Perbedaan yang nyata ditunjukkan dengan kadar abu hijauan jagung. Peningkatan kepadatan tanaman dari 25 000 tnm ha -1 hingga 100 000 tnm ha-1 cenderung menurunkan kadar abu jerami jagung yaitu dari 6,69 % turun hingga 3,74 %. Bagi ternak ruminansia kadar abu berkaitan dengan kelengkapan unsur mineral, tetapi kualitas hijauan sebagai pakan ternak lebih menekankan pada kualitas protein kasar, serat kasar dan TDN. Akibatnya penurunan kadar abu oleh tingkat kepadatan tanaman ini dapat dikompensasi dengan protein kasar, serat kasar dan TDN hijauan yang masih berkualitas baik.

Kesimpulan


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil berat tonggkol per petak tertinggi pada Varietas Arjuna dengan kepadatan 50
000 tnm ha-1 yaitu 14,18 kg per petak atau setara dengan 7,090 kg ha -1.
2. Kualitas nutrisi jerami jagung yang dibentuk oleh kandungan protein kasar (PK), serat kasar (SK) dan total digestien nutrien (TDN) tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan tanaman maupun varietas jagung semi.

Saran
Menanam jagung semi dengan tujuan untuk mendapatkan hasil jagung semi sebaiknya ditanam pada tingkat kepadatan 50 000 tnm ha-1.
DAFTAR PUSTAKA
Dohi, M. 1998. Pengaruh varietas dan kepadatan awal tanam terhadap produksi jagung dan hijauan jagung sebagai makanan ternak. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor..

Goenawan, G. 1989. Pengaruh populasi tanaman dan pembuangan bunga jantan (Detasseling) terhadap produksi jagung semi (baby corn) pada jagung manis (Zea mays Saccharata), Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Indriani, N.P. 2002. Kontribusi mikoriza dengan batuan fosfat dan waktu penjarangan pada tanaman jagung (Zea mays Linn) penghasil jagung semi dan hijauan pakan ternak. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syarifuddin, N.A. 2000. Produksi Rumput Gajah (Penisetum Purpurium) Pada Berbagai Umur dan Nilai Gizinya Sebelum dan setelah Ensilase. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makasar.

Sumantri, S. Soewardi B. Samad, dan Sukiran. 2003.Potensi pengembangan wilayah sapi Potong di Kawasan Padang alang-alang di Propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan timur. Direktorat Jendral peternakan. Jakarta.

Sudjana . A., Arifin, dan M. Sudjadi, 1991. Jagung. Buletin Teknik no 3. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Tanaman Pangan . Bogor.

Suprapto, H. S. 1990. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya . Jakarta. 37 hal.

Penelitian yang didanai DP2m Dikti tahun 2009/2010


PENGARUH TINGKAT KADAR AIR YANG BERBEDA TERHADAP KUALITAS FERMENTASI  SILASE  RANSUM KOMPLIT BERBAHAN BAKU LOKAL
( The Effect difference waterpercentage of matter to Fermentation  Quality of Complete Feed Silage Based on local conten )


Tintin Rostini1,M.Irwan Zakir1, Nahrowi Ramli2, dan Darabon Lubis2

Staf pengajar Faperta Uniska Banjarmasin Kalimantan Selatan1
Staf pengajar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor 2

ABSTRAK
            Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana tingkat penggunaan kadar air   terhadap kualitas silase ransum komplit berbahan baku lokal  sehingga dapat ditentukan tingkat penggunaan  mana yang memberikan kualitas silase yang baik.
Metode yang digunakan pada penelitian ini merupakan percobaan dengan menggunakan rancangan acak lengkap terdiri atas empat  perlakuan dan tiga  ulangan. Adapun perlakuan tersebut adalah SRK40 (silase ransum komplit berbahan baku lokal dengan tingkat kadar air 40 %), SRK50 (silase ransum komplit berbahan baku lokal dengan tingkat kadar air 50 %), SRK60 (silase ransum komplit berbahan baku lokal dengan tingkat kadar air 60 %) dan SRK70 (silase ransum komplit berbahan baku lokal dengan tingkat kadar air 70 %). Peubah yang diukur adalah penentuan kualitas fermentasi meliputi: karakteristik fisik silase (warna, bau, tekstur dan keberadaan jamur), karakteristik kimia (pH, dan karakteristik mikrobial (jumlah koloni bakteri asam laktat). 
            Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat silase ransum komplit (SRK40, SRK50 SRK60 dan SRK70) mempunyai kualitas fermentasi  yang baik setelah 21 hari masa ensilase . Namun jika dibandingkan empat  jenis silase ransum komplit tersebut, perlakuan silase ransum komplit berbabahn baku lokal dengan kadar air 50 % (SRK50) menunjukkan kualitas fermentasi  lebih baik, dengan warna silase Campuran Hijau kuning dan coklat, Bau khas asam ,tekstur utuh dan kompak, tingkat keberadaan jamur 9.19 %, persentase keberhasilan silase 91.88% dan pH 4.3,

Kata kunci : silase ransum komplit, fermentasi
ABSTRACT
                                                                                                                  


This study was conducted to evaluate fermentation  quality of four types complete feed silage base on water percentage of matter 40 % (SRK40), water percentage of matter 50 % (SRK50),  water percentage of matter l60 % (SRK60) and  water percentage of matter 70 % (SRK70) by products. Each complete feed was ensiled separately into 50 litres silo and was opened 21 day after ensiling. The silage products were evaluated in terms of physical (colour, smell, and presence of moulds), chemical (pH, ) and microbial (number of lactic acid bacteria).  Data were analyzed by using Completely Randomized Design with four treatments and three replicates, followed by LSD test. The result showed that all of complete feed silage had good quality. The types of complete feed silage affected fermentation  quality of silages (P<0.05). Complete feed silage  (SRK50) showed the best fermentation  quality with  the character ( colaur, smell, texture, fungi, percentase optimum silage  successfulness was about 91.88 % and PH 4,3
       
Keywords :  completed feed silage,ensiling

BAB I. PENDAHULUAN
Kendala umum dari pengembangan peternakan di Indonesia adalah ketersediaan dan kualitas pakan yang rendah. Permasalahan ketersediaan pakan untuk ternak ruminansia, khususnya pada musim kering, bukan disebabkan karena kurangnya produksi, akan tetapi lebih kepada faktor pengelolaan yang kurang baik.  Ketersediaan rumput misalnya akan berlimpah di musim hujan dan langka di musim kemarau.   Beberapa hasil samping agro-industri seperti bungkil inti sawit, bungkil kelapa dan onggok meskipun  tersedia sepanjang waktu dan tidak tergantung musim, tetapi karena pengelolaannya yang kurang baik, ketersediaan pakan ini menjadi tidak terjamin.
Kendala lain dari pakan adalah kualitas pakan yang relatif rendah dengan harga relatif mahal yang diakibatkan oleh teknologi pengolahan pakan yang  kurang tepat dan efisien. Bahan pakan ternak ruminansia umumnya berkadar air tinggi, sehingga pemakaian teknologi pengeringan menjadi kurang tepat karena selain membutuhkan tenaga, biaya dan waktu, cara ini juga dapat menurunkan kualitas gizi bahan pakan yang diolah.   Untuk itu, teknologi pengolahan pakan yang berorientasi ekonomi yang secara komplementer mampu menyediaakan pakan setiap saat sangat diperlukan.  Pengolahan pakan menggunakan teknologi fermentasi anaerob menjadi silase ransum komplit merupakan alternatif solusi yang tepat untuk memenuhi ketersediaan pakan, khususnya dimusim kemarau.    
Kondisi iklim tropis wilayah Indonesia, menuntut adanya terobosan teknologi dalam manajemen penyediaan dan pemberian pakan yang semakin mendesak. Kurangnya pakan hijauan pada musim kemarau dan rendahnya kualitas pakan konsentrat menyebabkan kebutuhan gizi untuk asupan ternak tidak dapat tercukupi dengan optimal. Akibatnya adalah produksi daging dan atau susu pada ternak ruminansia tidak mencapai harapan bahkan tingkat produksinya pun menurun. Selain itu, para peternak masih terbiasa memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara terpisah. Hal ini mengakibatkan tidak seimbangnya kandungan nutrisi pakan yang diberikan dan tidak sesuai dengan kebutuhan ternak. Permasalahan dalam pemberian pakan ini biasa terjadi pada ternak-ternak yang dikandangkan. Produktivitas ternak akan optimal secara teknis maupun ekonomis jika persediaan bahan pakan kontinu (tersedia sepanjang waktu), pakan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhan gizi ternak serta mudah dalam pemberiannya.
            Dalam upaya mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dan meminimalkan kelemahan kelemahan dalam penyimpanan pakan, maka sangat penting dicari satu terobosan teknologi yang tidak hanya dapat menyediaakan pakan secara berkelanjutan tetapi juga dapat mempermudah peternak dalam memberikan pakan pada ternaknya.  Teknologi silase ransum komplit merupakan jawaban yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas.
Silase adalah suatu cara pengawetan secara anaerob melalui proses fermentasi pada kandungan air tinggi.  Ada 2 cara pembuatan silase, yakni secara kimiawi yang dilakukan dengan menambahkan asam sebagai pengawet. Penambahan tersebut dibutuhkan agar pH silase dapat turun dengan segera (sekitar 4,2- 4,5), sehingga keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah aktifnya bakteri Clostridia (Waldo, 1978).  Cara yang kedua adalah secara biologis yakni dengan cara memfermentasi bahan tersebut sampai terbentuk asam sehingga menurunkan pH silase. Asam yang terbentuk selama proses tersebut antara lain adalah asam laktat, asam asetat dan asam butirat serta beberapa senyawa lain seperti etanol, karbondioksida, gas methan, karbon monoksida nitrit (NO) dan panas (Cullison, 1991).
Pada pembuatan silase secara biologis sering ditambahkan bahan aditif sebanyak kurang lebih 3% dari berat hijauan yang digunakan. Menurut Bolsen et al (1985) proses ensilase merupakan salah satu cara untuk meminimumkan kehilangan nutrient dan perubahan nilai nutrisi suatu bahan pakan (hijauan).  Proses tersebut dipengaruhi oleh faktor biologis dan teknik (Gambar 4). Proses ensilase pada dasarnya sama dengan proses fermentasi di dalam rumen (anaerob). Perbedaannya antara lain adalah bahwa dalam silase hanya sekelompok/group bakteri (diharapkan bakteri pembentuk asam laktat) yang aktif dalam prosesnya, sedangkan proses di dalam rumen melibatkan lebih banyak mikroorganisme dan beraneka ragam.
 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pemakaian kadar air yang berbeda terhadap kualitas fermentasi silase ransum komplit berbahan baku lokal
METODELOGI  PENELITIAN
Bahan  dan Alat Penelitian
  1. Bahan Pakan ternak  : Jagung kuning, dedak, ampas tahu, limbah udang, sagu/paya, jerami jagung, jerami padi, rumput gajah,dan  rumput setaria
  2. Molases, premix,  urea, aguades,
  3. tong, lakban, sekop


Metode
Metode pembuatan pakan ternak dalam bentuk silase ransum komplit, dimulai dengan pengumpulan pakan  untuk selanjutnya dilakukan pencampuran dengan bahan baku pakan lainnya (jagung kuning, dedak, sagu(paya), ampas tahu, rumput gajah dan rumput sertaria, jerami padi dan jerami jagung, Urea, tetes dll), sesuai dengan kebutuhan nutirisi kambing lokal umur satu tahun. Kebutuhan nutrisi kambing merujuk pada NRC (2004), sedangkan formulasi ransum menggunakan soft ware Feed Mania.  Campuran bahan kemudian dimasukkan ke dalam silo, dipadatkan dan ditutup untuk mendapatkan suasana anaerob  selama 21 hari.
 Tabel 1. Komposisi susunan Ransum Silase Ransum Komplit berbahan Baku lokal

Bahan Pakan
Persentase (%)
  1. Ampas tahu
  2. Limbah udang
  3. sagu
  4. jagung
  5. dedak
  6. daun jagung
  7. R. Kinggras
  8. R. BD
  9. Tetes
  10. Urea
  11. Premix
10
5
4.67
5
20
10
20
20
3.33
1
1
Komposisi Nutrisi
Persentase Nutrisi
  1. Bahan Kering
  2. Abu
  3. Protein kasar
  4. Lemak Kasar
  5. Serat Kasar
  6. Bet-N
  7. EM
  8. Ca
  9. P
62,740
5,441
12,685
5,195
18
28,319
2228
0,624
0,247


Cara menambahkan kadar pada setiap perlakuan adalah :

Silase berkadar air (kg) =      BK ransum (%)
                                          _________________________ x jumlah ransum kompli (KG)
                                               BK silase yang ingin dibuat

Air yang ditambahkan (lt) = Silase berkadar air (KG) – jumlah ransum Komplit (KG)
Perlakuan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah 4 peralakuan dan 3 ulangan . Sebagai perlakuan penelitian adalah kadar air ransum, dimana kadar air ransum kambing terdiri dari 40%, 50%, 60%, dan 70%. Produk silase dipanen setelah 21  hari pemeraman. Silase yang dipanen sebelum dievaluasi kualitasnya terlebih dahulu diangin-anginkan untuk menghilangkan gas yang berbahaya, setelah itu diambil sampel dari setiap perlakuan dan ulangan secara aseptik dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Analisis kualitas silase yang dilakukan meliputi karakteristik silase (bau, tekstur, jamur , warna dan keberhasilan silase),, pH, Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat pada silase,
Pengukuran Parameter
Warna, Bau dan Tekstur  Silase
          Warna, bau, tekstur silase dilakukan melalui pengamatan secara organoleptik produk silase setelah 21 hari ensilase. Sampling  dilakukan dengan mengambil bagian atas, tengah dan bawah silo.
Persentase Keberadaan Jamur
          Persentase keberadaan jamur pada permukaan silo diperoleh dengan memisahkan silase yang mengalami kerusakan, kemudian ditimbang bobotnya.                                    
% Keberadaan jamur  =  Bobot silase yang berjamur x 100%
                                        Bobot total silase

Persentase Keberhasilan  Silase 
Persentase keberhasilan silase dihitung  dengan cara sebagai berikut :
               PK    =       A         X 100 %
                              A  + B

dimana :