Jumat, 27 Mei 2011

Penelitian yang didanai DP2m Dikti tahun 2008

Hasil Produksi Jagung Semi Dan Kualitas Jerami Jagung Sebagai Pakan Ternak Dari Dua Varietas Dan Tingkat Kepadatan Yang Berbeda
(Yield baby corn and quality corn forages as livestock forages from two varieties and difference of crop densities )

Tintin Rostini
Staf pengajar Faperta Uniska Banjarmasin Kalimantan Selatan

ABSTRACT
The research aim is to know the effect of crop densities and baby corn varieties to get baby corn yield and quality livestock forages ..
This research was done at Sungai Besar Village,Banjarbaru . This research using completely factorial randomized design with two factors, and three replications of each. The first factor was corn variety (V) consist of V1 (CP1-2) and V2 (Arjuna), and the second factor was corp density ( K) consist of K1 ( 25 000 crops. ha-1 ), K2 (50 000 crops. ha-1), K3 (75 000 crops. ha-1) and K4 (100 000 crops. ha-1), so there are 8 treatments combination .
Result of experiment obtained there was signifikan interaction between varieties and density on baby corn’s production, combintion V2K2 produced was the highest baby corn weight of production was about 7,090 kg.ha -1. This result also showed that qualities corn forages of three varieties of baby corn were not no significant .

Key words : Baby corn, variety, crop density, corn forages yield

PENDAHULUAN
Hijauan makanan ternak, merupakan salah satu bahan makanan yang sangat diperlukan dan besar manfaatnya bagi kehidupan ternak, terlebih untuk ternak ruminansia. Oleh karena itu hijauan sebagai salah satu pakan yang merupakan dasar utama dalam usaha pengembangan peternakan, baik untuk berkembangbiak, maupun untuk bereproduksi (Sumantri, Soewardi, Samad dan Sukiran , 2003).
Penyediaan hijauan makanan ternak dengan kualitas dan kuantitas yang cukup merupakan kunci keberhasilan peningkatan produksi ternak. Penyediaan hijauan makanan ternak di daerah tropis, sangat dipengaruhi oleh system usaha tani yang berlaku di suatu daerah (Dohi, 1998). Daerah di Indonesia yang mempunyai system usaha tani tanah sawah, sumber makanan ternak ruminansia terutama berasal dari hasil ikutan atau limbah pertanian, seperti jerami tanaman pangan atau sisa-sisa pertanian lainnya.
Salah satu tanaman pangan yang memberikan harapan besar dapat dilakukan diversifikasi dan limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak adalah tanaman jagung semi. Jagung semi (baby corn) merupakan alternatif yang dapat dipilih oleh petani/peternak selain memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya, juga peluang untuk memasarkannya semakin terbuka. Selain dapat digunakan sebagai sayuran oleh semua golongan masyarakat, batang dan daun jagung sisa panen bisa dipakai untuk pakan ternak yang memiliki hijauan berkualitas baik ( Goenawan, 1989)
Kualitas suatu hijauan makanan ternak tidak konstan, ada perubahan- perubahan yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain umur tanaman , kesuburan tanah, keadaan cuaca dan keadaan persedian air. Pada musim kemarau (tanah kering) maka tanaman jagung akan tumbuh kering sehingga nilai gizinya akan berubah (Sarwono, 1995). Umur tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai nutrisi, dan pada umumya kadar protein akan turun sesuai dengan meningkatnya umur tanaman, tetapi kadar serat kasar menunjukkan keadaan sebaliknya (Susetyo, 1980)
Sekarang penanaman jagung tergantung pada tujuan penggunaanya, apakah sebagai jagung pipilan, jagung rebus, jagung sayur (baby Corn) atau sebagai hijauan pakan (Soedarmadi, 1990). Sebagai jagung semi , tanaman dipanen pada saat setelah berbunga, yakni pada umur 8 – 9 minggu, karena pada saat tersebut produksi bahan kering per hektar telah mencapai maksimum (Wilkinson, 1978) .
Untuk mengoptimalkan fungsi lahan sebagai media tanam khususnya tanaman jagung semi ini, hasil produksi jagung semi serta produksi hijauan jagung termasuk kualitasnya sangat tergantung kepada model penanaman yang dilakukan. Terdapat kesulitan menentukan kepadatan tanaman yang optimal agar berproduksi tinggi, berkualitas baik hijauan segar maupun silasenya. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap efisiensi lahan yang makin hari menjadi semakin mahal sehingga perlu diteliti tentang hal ini, agar ke depan dualisme kepentingan ini baik sebagai penghasil bahan pangan (jagung semi) maupsebagai hijauan pakan ternak dapat sama-sama diuntungkan dengan mengoptimalka un n penggunaan lahan yang ada.sehingga didapat kualitas limbah (hijauan jagung) sebagai pakan ternak yang berkualitas baik. Dan akan lebih bermanfaat sebagai pakan ternak
Tillman et al., (1989) menyatakan bahwa faktor - faktor yang mempengaruhi kecernaan antara lain adalah komposisi nutrisi makanan, jenis hewan dan jumlah makanan. Selanjutnya dinyatakan bahwa, umur hijauan makanan ternak juga merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya kecernaan. Hijauan yang masih muda akan lebih dapat dicerna daripada hijauan yang sudah tua. Apabila hijauan makin tua, proporsi selulose dan hemisellulosa bertambah, sedangkan karbohidrat yang terlarut dalam air akan berkurang.
Selama ini masih kesulitan menentukan berapa banyak tanaman yang optimal sehingga dapat memaksimalkan produksi dan kualitas nutrisi tetap baik. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap efisiensi lahan yang makin hari menjadi semakin mahal. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang hal ini. agar ke depan dualisme kepentingan ini baik sebagai penghasil bahan pangan (jagung semi) maupun sebagai hijauan pakan ternak dapat sama-sama diuntungkan dengan mengoptimalkan penggunaan lahan yang ada. Sehingga bagi sisi usaha peternakan akan mampu mengatasi kesulitan pakan karena kendala kualitas hijauan yang rendah, serta mampu meningkatkan bobot ternak secara nyata.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya interaksi antara varietas dengan tingkat kepadatan tanaman pruduksi jagung semi dan kualitas nutrisi hijauan jagung.

BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Sungai Besar Kecamatan Banjarbaru. Kotamadya Banjarbaru Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan . Alat- alat yang digunakan adalah : Meteran, oven timbangan analitik, cangkul,Gunting rumput, label, oven, sprayer,gelas ukur. Bahan-bahan yang digunakan adalah benih jagung semi Varietas besari bebas ( Arjuna) dan Varietas Hibrida CPI-2. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Urea, SP-36 dan KCl. Furadan 3 G, Decis dan Ridomil, tetes untuk pembuatan silase
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan tiga kali ulangan. Perlakuan-perlakuan tersebut adalah sebagai berikut
Faktor pertama adalah varietas jagung semi (V) terdiri atas Varietas Jagung CPI-2 (V1) dan Varietas Arjuna(V2). Faktor kedua adalah kepadatan tanaman (K) terdiri dari atas empat taraf, yaitu Kepadatan 25 000 tnm. ha-1 (K1), kepadatan 50 000 tnm. ha-1 (K2), kepadatan 75 000 tnm. ha-1 ( K3) , dan kepadatan 100 000 tnm. ha-1 (K4)
Dalam penelitian ini pengolahan tanah dilakukan sebanyak dua kali pencangkulan, kemudian dibuat petak-petak penelitian dengan ukuran setiap petak 4 x 5 m sebanyak 24 petakan, jarak antar petak perlakuan 0,50 m .
Benih jagung ditanam secara tugal sedalam 3 – 5 cm, dengan jarak disesuaikan perlakuan. Pada saat menanam lubang tanam ditaburi furadan 3G dosis 25 kg ha-1. kemudian lubang tanam ditutup. Sedangkan panen dilakukan pada umur 56 hari setelah tanam.
Panen jagung semi dilakukan terhadap tongkol yang masih muda. Jagung semi dipanen ditandai dengan rambut tongkolnya sudah mencapai sekitar 3 - 5 cm, warna rambut putih kemerahan-merahan, kelobot berwarna hijau. Dan jerami jagung masih berwarna hijau .

Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah berat tongkol per petak, jumlah tongkol pertanaman, berat per tongkol sedangkan kualitas nutrisi hijauan jagung yang diukur terdiri dari kadar air, protein kasar, Serat kasar, Total Digestion Nutrien (TDN), kadar air dan kadar abu

HASIL DAN PEMBAHASAN
Berat Tongkol Per Petak
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan interaksi varietas dengan tingkat kerapatan tanaman. Memberikan pengaruh yang sangat nyata (p< 0.01) terhadap berat tongkol jagung semi..
Tabel 1. Berat tongkol per petak (kg) dari dua varietas jagung
Varietas Kepadatan Tanaman (ha-1) Rataan
K1 K2
K3
K4

V1 9,08a 14,07cd 13,95cd 11,75bc 12,49
V2 10,46ab 14,18d 11,18b 9,09a 11,37
Rataan 9,77 14,13 12,56 10,42 11,93
Keterangan:Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata
(P< 0,01)

Berdasarkan tabel 1 di atas menunjukkan bahwa Varietas Arjuna dengan kepadatan 50 000 tnm ha-1 (V2K2) adalah hasil yang paling tinggi yaitu 14,18 kg per petak walaupun hasil ini tidak berbeda nyata dengan Varietas CP1-2 dengan kepadatan tanaman yang sama yakni 50 000 tnm ha-1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan varietas jagung Arjuna dengan kepadatan 50 000 tnm ha -1 (V2K2) memberikan hasil tertinggi yaitu sebesar 14,18 kg per petak atau setara dengan 7,090 kg ha-1 berat tongkol jagung semi.
Kepadatan tanaman ditingkatkan baik untuk varietas Arjuna maupun varietas CP1-2 cenderung menurunkan hasil tongkol jagung. Diduga karena adanya persaingan mendapatkan sinar matahari, unsur hara dan air yang diperlukan tanaman. Lebih-lebih penelitian ini dilaksanakan di tanah podsolik yang diketahui miskin hara, kandungan bahan organik yang rendah, di tanah podsolik menyebabkan daya serap tanah terhadap air tanah rendah. Hal ini senada dengan pendapat Mauliani dan Suryanto (1985) bahwa produksi jagung sangat dipengaruhi oleh jumlah populasi tanaman per satuan luas yang berhubungan erat dengan pemanfaatan sinar matahari secara maksimal dalam pertumbuhan. Sedangkan menurut pendapat Sutoro et al., (1988) menyatakan bahwa jumlah populasi tanaman sangat menentukan hasil suatu tanaman, semakin rapat jarak tanamam makin besar kompetisi dalam mengabsorpsi faktor-faktor tumbuh seperti unsur hara, air , CO2 dan cahaya matahari.
Jumlah Tongkol Per Tanaman

Jumlah tongkol per tanaman menunjukkan bahwa interaksi varietas dengan kepadatan tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tongkol per tanaman. Faktor tunggal kepadatan tanaman memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap jumlah tongkol per tanaman . Jumlah tongkol per tanaman dari dua varietas pada beberapa kepadatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah tongkol per tanaman (buah) dari dua varietas jagung
Varietas Kepadatan Tanaman (ha-1) Rataan
K1 K2
K3
K4

V1 2,80 2,46 2,20 1,87 2,33
V2 2,87 2,40 2,20 1,93 2,35
Rataan 2,83c 2,43b 2,20b 1,90a 2,34
Keterangan:Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P< 0,01)

Berdasarkan tabel di atas terlihat pada kepadatan 25000 tnm ha-1 (K1) menunjukkan jumlah tongkol per tanaman tertinggi yaitu rata –rata 2,83 buah tongkol per tanaman sedangkan pada kepadatan 100 000 tnm ha-1 (K4) jumlah tongkol per tanaman rata-rata 1,93 buah. Pada Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi kepadatan tanaman maka jumlah tongkol per tanaman semakin sedikit. Sedangkan varietas jagung tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada jumlah tongkol per tanaman baik varietas Arjuna maupun varietas Hibrida CP1-2.
Jumlah tongkol per tanaman sangat dipengaruhi oleh semakin meningkatnya jumlah tanaman. Hal ini karena semakin meningkatnya jumlah tanaman maka akan semakin tinggi persaingan mendapatkan sinar matahari, unsur hara dan air di dalam tanah untuk pembentukan berat tongkol dan jumlah tongkol per tanaman . Sedangkan varietas jagung tidak mempengaruhi secara nyata terhadap . Hal ini disebabkan karena sifat-sifat yang dimiliki jagung Hibrida CPI-2 dan Jagung Arjuna secara genetik memiliki kesamaan. Kedua varietas ini memiliki keunggulan dalam produksi tongkol jagung seperti dilaporkan Sudjana et al. (1991) yang menyatakan bahwa jagung Hibrida varietas CPI-2 dan Jagung varietas Arjuna dapat digunakan sebagai penghasil jagung semi yang berproduksi tinggi.

Berat Per Tongkol

Hasil berat per tongkol jagung semi menunjukkan bahwa interaksi varietas dengan kepadatan tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap berat per tongkol. Faktor tunggal kepadatan tananman memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap berat per tongkol . Rataan berat per tongkol dari dua varietas dapat dilihat pada Tabel 3.


Tabel 3. Berat per tongkol dua varietas jagung semi (g).

Varietas Kepadatan Tanaman (ha-1) Rataan
K1 K2
K3
K4
)
V1 64,92 57,02 42,29 31,51 49,51
V2 73,00 59,08 33,89 23,54 47,37
Rataan 70,12d 58,05c 38,08b 27,52a 48,44
Keterangan:Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P< 0,01)


Pada kepadatan 25 000 tnm ha-1 (K1) menunjukan berat tongkol tertinggi yaitu rata – rata 70,12 g per tongkol sedangkan pada kepadatan 100 000 tnm ha-1 (K4) berat tongkol rata-rata 27,52 g per tongkol . Pada Tabel 5 juga dapat dilihat bahwa semakin tinggi kepadatan tanaman maka berat tongkol semakin kecil. Sedangkan varietas jagung tidak menunjukan perbedaan yang nyata pada berat tongkol baik varietas Arjuna maupun varietas Hibrida CP1-2.

Kualitas Nutrisi Hijauan Jagung Semi

Bahan makanan ternak dikatakan bernutrisi tinggi apabila kandungan zat-zat makanan yang diperlukan oleh tubuh ternak dalam keadaan mudah dicerna dengan komposisi yang baik serta mempunyai nilai cerna tinggi (Sosroamidjojo dan Soeraji 1981). Indikator bernutrisi baik dari kandungan Protein Kasar (PK), Serat Kasar (SK) Total Digestion Nutrien (TDN), kadar air dan kadar abu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi tingkat kepadatan tanaman dengan varietas tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan protein kasar, serta kasar, TDN, kadar air dan abu hijauan jagung. Begitu juga faktor tunggal kepadatan tanaman dan varietas. Rataan nilai nutrisi hijauan jagung semi dapat dilihat pada Tabel 4.




Tabel 4. Hasil analisis nilai nutrisi kadar air, Protein kasar(PK), serta kasar(SK) ,
Total Digestable Nutrien ( TDN), dan kadar abu hijauan jagung semi (%)

Hasil analisis V1K1 V1K2 V1K3 V1K4 V2K1 V2K2 V2K3 V2K4
Kadar Air 62,46 64,06 66,45 68,78 60,80 53,97 65,37 66,64
Kadar PK 10,03 10,70 8,77 7,63 10,87 10,09 8,97 8,90
Serat Kasar 28,55 31,20 33,19 32,36 29,79 32,33 33,52 35,52
TDN 61,09 60,54 56,78 57,90 61,02 59,24 58,46 59,32
Kadar Abu 6,66 5,97 4,43 3,64 6,78 5,11 4,23 3,84


Berdasarkan tabel di atas terlihat tingkat kepadatan dan varietas tanaman tidak menyebabkan perbedaan nyata terhadap kandungan Kadar air, kadar Protein Kasar (PK), kadar serat kasar (SK), kadar TDN dan kadar abu hijauan jagung. Meskipun demikian terdapat kecenderungan penurunan kadar protein kasar, TDN dan kadar abu hijauan jagung dengan meningkatnya kepadatan tanaman, tetapi untuk kadar air dan serta kasar terdapat kecenderungan peningkatan dengan meningkatnya kepadatan tanaman.
Peningkatan kepadatan tanaman menyebabkan peningkatan kadar air tanaman dari 61,63 % meningkat hingga 67,71 %. Bagi hijauan pakan yang akan dibuat silase kadar air erat kaitannya dengan kualias hasil silase. Dimana kadar air yang tinggi pada hijauan akan menyebabkan menurunnya kualitas hasil silase karena dapat memicu (trigers) peningkatan jumlah jamur silase. Hal ini berdampak kurang baik karena memerlukan tambahan waktu bagi peternak untuk menurunkan kadar air hijauan sebelum di buat silase, agar diperoleh hasil silase yang lebih baik. Tetapi peningkatan kadar air yang terjadi dalam penelitian ini dengan peningkatan kepadatan tanaman jagung semi per ha, dapat dikompensasi oleh hasil hijauan jagung yang meningkat sebagai cara penyediaan hijauan pakan yang efisien
Perbedaan varietas jagung dengan tingkat kepadatan tanaman tidak menyebabkan perbedaan terhadap kandungan SK, PK dan TDN hijauan jagung. Peningkatan kepadatanan tanaman hingga 100 000 tnm ha-1 belum menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap kualitas nutrisi hijauan jagung, walaupun ada kecenderungan terjadi penurunan kualitas nutrisi yang diindikasikan dengan penurunan kandungan PK, TDN dan peningkatan SK hijauan. Tidak nyatanya perbedaan kandungan nutrisi hijauan yang terjadi dengan meningkatnya kepadatan tanaman ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan hasil hijauan jagung semi untuk dijadikan hijauan pakan ternak
Berdasarkan hasil ini kepadatan tanaman jagung semi ke dua varietas dapat ditingkatkan sampai 100 000 tnm. ha-1 karena tidak mempengaruhi kualitas nutrisi hijauan yang diperoleh. Hal ini sangat menguntungkan bagi penyediaan hijauan pakan ternak karena dengan peningkatan kepadatan tanaman akan meningkatkan hasil jerami atau hijauan tanpa pengaruh negatif terhadap kandungan protein kasar, serat kasar dan TDN hijauan jagung. Kondisi ini sangat baik bagi keinginan petani ternak dalam upaya memperoleh hijauan pakan berkualitas tinggi dalam jumlah yang banyak dengan kualitas nutrisi yang baik.
Perbedaan yang nyata ditunjukkan dengan kadar abu hijauan jagung. Peningkatan kepadatan tanaman dari 25 000 tnm ha -1 hingga 100 000 tnm ha-1 cenderung menurunkan kadar abu jerami jagung yaitu dari 6,69 % turun hingga 3,74 %. Bagi ternak ruminansia kadar abu berkaitan dengan kelengkapan unsur mineral, tetapi kualitas hijauan sebagai pakan ternak lebih menekankan pada kualitas protein kasar, serat kasar dan TDN. Akibatnya penurunan kadar abu oleh tingkat kepadatan tanaman ini dapat dikompensasi dengan protein kasar, serat kasar dan TDN hijauan yang masih berkualitas baik.

Kesimpulan


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil berat tonggkol per petak tertinggi pada Varietas Arjuna dengan kepadatan 50
000 tnm ha-1 yaitu 14,18 kg per petak atau setara dengan 7,090 kg ha -1.
2. Kualitas nutrisi jerami jagung yang dibentuk oleh kandungan protein kasar (PK), serat kasar (SK) dan total digestien nutrien (TDN) tidak dipengaruhi oleh tingkat kepadatan tanaman maupun varietas jagung semi.

Saran
Menanam jagung semi dengan tujuan untuk mendapatkan hasil jagung semi sebaiknya ditanam pada tingkat kepadatan 50 000 tnm ha-1.
DAFTAR PUSTAKA
Dohi, M. 1998. Pengaruh varietas dan kepadatan awal tanam terhadap produksi jagung dan hijauan jagung sebagai makanan ternak. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor..

Goenawan, G. 1989. Pengaruh populasi tanaman dan pembuangan bunga jantan (Detasseling) terhadap produksi jagung semi (baby corn) pada jagung manis (Zea mays Saccharata), Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Indriani, N.P. 2002. Kontribusi mikoriza dengan batuan fosfat dan waktu penjarangan pada tanaman jagung (Zea mays Linn) penghasil jagung semi dan hijauan pakan ternak. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Syarifuddin, N.A. 2000. Produksi Rumput Gajah (Penisetum Purpurium) Pada Berbagai Umur dan Nilai Gizinya Sebelum dan setelah Ensilase. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makasar.

Sumantri, S. Soewardi B. Samad, dan Sukiran. 2003.Potensi pengembangan wilayah sapi Potong di Kawasan Padang alang-alang di Propinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan timur. Direktorat Jendral peternakan. Jakarta.

Sudjana . A., Arifin, dan M. Sudjadi, 1991. Jagung. Buletin Teknik no 3. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Tanaman Pangan . Bogor.

Suprapto, H. S. 1990. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya . Jakarta. 37 hal.

Penelitian yang didanai DP2m Dikti tahun 2009/2010


PENGARUH TINGKAT KADAR AIR YANG BERBEDA TERHADAP KUALITAS FERMENTASI  SILASE  RANSUM KOMPLIT BERBAHAN BAKU LOKAL
( The Effect difference waterpercentage of matter to Fermentation  Quality of Complete Feed Silage Based on local conten )


Tintin Rostini1,M.Irwan Zakir1, Nahrowi Ramli2, dan Darabon Lubis2

Staf pengajar Faperta Uniska Banjarmasin Kalimantan Selatan1
Staf pengajar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor 2

ABSTRAK
            Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana tingkat penggunaan kadar air   terhadap kualitas silase ransum komplit berbahan baku lokal  sehingga dapat ditentukan tingkat penggunaan  mana yang memberikan kualitas silase yang baik.
Metode yang digunakan pada penelitian ini merupakan percobaan dengan menggunakan rancangan acak lengkap terdiri atas empat  perlakuan dan tiga  ulangan. Adapun perlakuan tersebut adalah SRK40 (silase ransum komplit berbahan baku lokal dengan tingkat kadar air 40 %), SRK50 (silase ransum komplit berbahan baku lokal dengan tingkat kadar air 50 %), SRK60 (silase ransum komplit berbahan baku lokal dengan tingkat kadar air 60 %) dan SRK70 (silase ransum komplit berbahan baku lokal dengan tingkat kadar air 70 %). Peubah yang diukur adalah penentuan kualitas fermentasi meliputi: karakteristik fisik silase (warna, bau, tekstur dan keberadaan jamur), karakteristik kimia (pH, dan karakteristik mikrobial (jumlah koloni bakteri asam laktat). 
            Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat silase ransum komplit (SRK40, SRK50 SRK60 dan SRK70) mempunyai kualitas fermentasi  yang baik setelah 21 hari masa ensilase . Namun jika dibandingkan empat  jenis silase ransum komplit tersebut, perlakuan silase ransum komplit berbabahn baku lokal dengan kadar air 50 % (SRK50) menunjukkan kualitas fermentasi  lebih baik, dengan warna silase Campuran Hijau kuning dan coklat, Bau khas asam ,tekstur utuh dan kompak, tingkat keberadaan jamur 9.19 %, persentase keberhasilan silase 91.88% dan pH 4.3,

Kata kunci : silase ransum komplit, fermentasi
ABSTRACT
                                                                                                                  


This study was conducted to evaluate fermentation  quality of four types complete feed silage base on water percentage of matter 40 % (SRK40), water percentage of matter 50 % (SRK50),  water percentage of matter l60 % (SRK60) and  water percentage of matter 70 % (SRK70) by products. Each complete feed was ensiled separately into 50 litres silo and was opened 21 day after ensiling. The silage products were evaluated in terms of physical (colour, smell, and presence of moulds), chemical (pH, ) and microbial (number of lactic acid bacteria).  Data were analyzed by using Completely Randomized Design with four treatments and three replicates, followed by LSD test. The result showed that all of complete feed silage had good quality. The types of complete feed silage affected fermentation  quality of silages (P<0.05). Complete feed silage  (SRK50) showed the best fermentation  quality with  the character ( colaur, smell, texture, fungi, percentase optimum silage  successfulness was about 91.88 % and PH 4,3
       
Keywords :  completed feed silage,ensiling

BAB I. PENDAHULUAN
Kendala umum dari pengembangan peternakan di Indonesia adalah ketersediaan dan kualitas pakan yang rendah. Permasalahan ketersediaan pakan untuk ternak ruminansia, khususnya pada musim kering, bukan disebabkan karena kurangnya produksi, akan tetapi lebih kepada faktor pengelolaan yang kurang baik.  Ketersediaan rumput misalnya akan berlimpah di musim hujan dan langka di musim kemarau.   Beberapa hasil samping agro-industri seperti bungkil inti sawit, bungkil kelapa dan onggok meskipun  tersedia sepanjang waktu dan tidak tergantung musim, tetapi karena pengelolaannya yang kurang baik, ketersediaan pakan ini menjadi tidak terjamin.
Kendala lain dari pakan adalah kualitas pakan yang relatif rendah dengan harga relatif mahal yang diakibatkan oleh teknologi pengolahan pakan yang  kurang tepat dan efisien. Bahan pakan ternak ruminansia umumnya berkadar air tinggi, sehingga pemakaian teknologi pengeringan menjadi kurang tepat karena selain membutuhkan tenaga, biaya dan waktu, cara ini juga dapat menurunkan kualitas gizi bahan pakan yang diolah.   Untuk itu, teknologi pengolahan pakan yang berorientasi ekonomi yang secara komplementer mampu menyediaakan pakan setiap saat sangat diperlukan.  Pengolahan pakan menggunakan teknologi fermentasi anaerob menjadi silase ransum komplit merupakan alternatif solusi yang tepat untuk memenuhi ketersediaan pakan, khususnya dimusim kemarau.    
Kondisi iklim tropis wilayah Indonesia, menuntut adanya terobosan teknologi dalam manajemen penyediaan dan pemberian pakan yang semakin mendesak. Kurangnya pakan hijauan pada musim kemarau dan rendahnya kualitas pakan konsentrat menyebabkan kebutuhan gizi untuk asupan ternak tidak dapat tercukupi dengan optimal. Akibatnya adalah produksi daging dan atau susu pada ternak ruminansia tidak mencapai harapan bahkan tingkat produksinya pun menurun. Selain itu, para peternak masih terbiasa memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara terpisah. Hal ini mengakibatkan tidak seimbangnya kandungan nutrisi pakan yang diberikan dan tidak sesuai dengan kebutuhan ternak. Permasalahan dalam pemberian pakan ini biasa terjadi pada ternak-ternak yang dikandangkan. Produktivitas ternak akan optimal secara teknis maupun ekonomis jika persediaan bahan pakan kontinu (tersedia sepanjang waktu), pakan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhan gizi ternak serta mudah dalam pemberiannya.
            Dalam upaya mengatasi permasalahan ketersediaan pakan dan meminimalkan kelemahan kelemahan dalam penyimpanan pakan, maka sangat penting dicari satu terobosan teknologi yang tidak hanya dapat menyediaakan pakan secara berkelanjutan tetapi juga dapat mempermudah peternak dalam memberikan pakan pada ternaknya.  Teknologi silase ransum komplit merupakan jawaban yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas.
Silase adalah suatu cara pengawetan secara anaerob melalui proses fermentasi pada kandungan air tinggi.  Ada 2 cara pembuatan silase, yakni secara kimiawi yang dilakukan dengan menambahkan asam sebagai pengawet. Penambahan tersebut dibutuhkan agar pH silase dapat turun dengan segera (sekitar 4,2- 4,5), sehingga keadaan ini akan menghambat proses respirasi, proteolisis dan mencegah aktifnya bakteri Clostridia (Waldo, 1978).  Cara yang kedua adalah secara biologis yakni dengan cara memfermentasi bahan tersebut sampai terbentuk asam sehingga menurunkan pH silase. Asam yang terbentuk selama proses tersebut antara lain adalah asam laktat, asam asetat dan asam butirat serta beberapa senyawa lain seperti etanol, karbondioksida, gas methan, karbon monoksida nitrit (NO) dan panas (Cullison, 1991).
Pada pembuatan silase secara biologis sering ditambahkan bahan aditif sebanyak kurang lebih 3% dari berat hijauan yang digunakan. Menurut Bolsen et al (1985) proses ensilase merupakan salah satu cara untuk meminimumkan kehilangan nutrient dan perubahan nilai nutrisi suatu bahan pakan (hijauan).  Proses tersebut dipengaruhi oleh faktor biologis dan teknik (Gambar 4). Proses ensilase pada dasarnya sama dengan proses fermentasi di dalam rumen (anaerob). Perbedaannya antara lain adalah bahwa dalam silase hanya sekelompok/group bakteri (diharapkan bakteri pembentuk asam laktat) yang aktif dalam prosesnya, sedangkan proses di dalam rumen melibatkan lebih banyak mikroorganisme dan beraneka ragam.
 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pemakaian kadar air yang berbeda terhadap kualitas fermentasi silase ransum komplit berbahan baku lokal
METODELOGI  PENELITIAN
Bahan  dan Alat Penelitian
  1. Bahan Pakan ternak  : Jagung kuning, dedak, ampas tahu, limbah udang, sagu/paya, jerami jagung, jerami padi, rumput gajah,dan  rumput setaria
  2. Molases, premix,  urea, aguades,
  3. tong, lakban, sekop


Metode
Metode pembuatan pakan ternak dalam bentuk silase ransum komplit, dimulai dengan pengumpulan pakan  untuk selanjutnya dilakukan pencampuran dengan bahan baku pakan lainnya (jagung kuning, dedak, sagu(paya), ampas tahu, rumput gajah dan rumput sertaria, jerami padi dan jerami jagung, Urea, tetes dll), sesuai dengan kebutuhan nutirisi kambing lokal umur satu tahun. Kebutuhan nutrisi kambing merujuk pada NRC (2004), sedangkan formulasi ransum menggunakan soft ware Feed Mania.  Campuran bahan kemudian dimasukkan ke dalam silo, dipadatkan dan ditutup untuk mendapatkan suasana anaerob  selama 21 hari.
 Tabel 1. Komposisi susunan Ransum Silase Ransum Komplit berbahan Baku lokal

Bahan Pakan
Persentase (%)
  1. Ampas tahu
  2. Limbah udang
  3. sagu
  4. jagung
  5. dedak
  6. daun jagung
  7. R. Kinggras
  8. R. BD
  9. Tetes
  10. Urea
  11. Premix
10
5
4.67
5
20
10
20
20
3.33
1
1
Komposisi Nutrisi
Persentase Nutrisi
  1. Bahan Kering
  2. Abu
  3. Protein kasar
  4. Lemak Kasar
  5. Serat Kasar
  6. Bet-N
  7. EM
  8. Ca
  9. P
62,740
5,441
12,685
5,195
18
28,319
2228
0,624
0,247


Cara menambahkan kadar pada setiap perlakuan adalah :

Silase berkadar air (kg) =      BK ransum (%)
                                          _________________________ x jumlah ransum kompli (KG)
                                               BK silase yang ingin dibuat

Air yang ditambahkan (lt) = Silase berkadar air (KG) – jumlah ransum Komplit (KG)
Perlakuan yang digunakan dalam percobaan ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah 4 peralakuan dan 3 ulangan . Sebagai perlakuan penelitian adalah kadar air ransum, dimana kadar air ransum kambing terdiri dari 40%, 50%, 60%, dan 70%. Produk silase dipanen setelah 21  hari pemeraman. Silase yang dipanen sebelum dievaluasi kualitasnya terlebih dahulu diangin-anginkan untuk menghilangkan gas yang berbahaya, setelah itu diambil sampel dari setiap perlakuan dan ulangan secara aseptik dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisis. Analisis kualitas silase yang dilakukan meliputi karakteristik silase (bau, tekstur, jamur , warna dan keberhasilan silase),, pH, Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat pada silase,
Pengukuran Parameter
Warna, Bau dan Tekstur  Silase
          Warna, bau, tekstur silase dilakukan melalui pengamatan secara organoleptik produk silase setelah 21 hari ensilase. Sampling  dilakukan dengan mengambil bagian atas, tengah dan bawah silo.
Persentase Keberadaan Jamur
          Persentase keberadaan jamur pada permukaan silo diperoleh dengan memisahkan silase yang mengalami kerusakan, kemudian ditimbang bobotnya.                                    
% Keberadaan jamur  =  Bobot silase yang berjamur x 100%
                                        Bobot total silase

Persentase Keberhasilan  Silase 
Persentase keberhasilan silase dihitung  dengan cara sebagai berikut :
               PK    =       A         X 100 %
                              A  + B

dimana :